Pekerjaan Sosial atau Ilmu Kesejahteraan Sosial,,??

Dorita Setiawan, MSW
Doctorate student at Columbia University School of Social Work
1255 Amsterdam Avenue, New York 10027
ds2760@columbia.edu

Suatu hal yang menarik adalah perbedaan nama antara Pekerjaan sosial dan Ilmu Kesejahteraan sosial. Ada beberapa dua perspektif  dalam melihat kedua kata ini. Sebagai pemahaman definisi, pekerjaan sosial memiliki sejarah yang berakar dari tradisi philantropi atau charity movement yang lahir pada era progresif di Amerika tahun 1880-an. Pendekatan yang dilakukan Peksos, lebih bersifat klinis (beberapa menyebutnya generalis), ranah-ranah yang ada dalam pekerjaan sosial pun sangat spesifik beberapa diantaranya adalah asesmen keluarga dan perlindungan anak.

Yang menarik dari hal ini adalah, di Indonesia banyak yang menganggap bahwa pendekatan klinis bukanlah pendekatan yang relevan yang dapat diterapkan pada konteks Indonesia. Namun keterampilan ini sebenarnya merupakan elemen yang sangat penting bagi Indonesia, karena trend intervensi sosial yang ada di Indonesia  lebih bergerak menuju layanan yang berbentuk pencegahan berbasis masyarakat (community-based prevention) dibanding dengan model insitusi untuk memecahkan persoalan yang akut.

Lain hal nya dengan Kesejahteraan Sosial (Social Welfare), kata ini lebih bersifat umum dan general, gerakan ini muncul dari pergerakan settlement house yang dibidani oleh Jane Adams, dimana lebih bersifat pada community organizing, aktifisme , advokasi dan juga kebijakan. Karena kesejahteraan sosial berkait dengan well-being masyarakat, maka pelaku di dalam ranah ilmu kesejahteraan sosial ini tidak melulu harus Pekerja sosial tapi bisa juga ekonom, politisi, semua profesi yang berhubungan dengan kesejahteraan orang banyak. Namun seorang pekerja sosial yang mendalami Ilmu Kesejahteraan Sosial akan berbeda dengan mereka yang datang dari profesi lain. Misalnya, analisis kebijakan kemiskinan seorang peksos akan lebih menggunakan pisau analisis kelayakan (kualitas hidup) dan teori PIE (people in environment) yang melihat dukungan keluarga, lingkungan dan masyarakat sedangkan seorang ekonom lebih menggunakan pendapatan (income dan earnings) untuk menganalisa satu phenomena kemiskinan yang ada di masyarakat. Tentu saja contoh ini sangat ‘sederhana’ dibanding dari proses analisa yang dilakukan di lapangan yang lebih rumit.

Perspektif ke dua adalah, penamaan pekerjaan sosial dan Ilmu kesejahteraan sosial pada universitas adalah masalah ‘hubungan publik’ artinya, penamaan ini terkait dengan pesan apa yang ingin disampaikan oleh suatu program pekerjaan sosial. Di Jepang misalnya pada masa awal pembentukan program pendidikan pekerjaan sosial, untuk alasan politis dan melihat pasar, nama ilmu Kesejahteraan sosial lebih dipilih karena stigma akan pekerjaan sosial sangat kental di masyarakat. Namun ketika profesi ini sudah lebih dikenal beberapa program kembali menggunakan kata pekerjaan sosial (Mandinberg, 2009). Di Amerika sendiri, tidak semua program yang menyelenggarakan pendidikan pekerjaan sosial menggunakan kata Social Work  (Columbia University School of Social Work, University of Michigan) tetapi juga Social Welfare (UCLA Berkeley dan University of Washington in St Louis), namun mereka bernaung di bawah CSWE (Council of social Work Education) atau badan pendidikan pekerjaan sosial. Amerika Serikat dan Kanada serta Inggris –walaupun sedikit berbeda dengan latar belakang historis yang berbeda- memiliki trend yang sama akan penamaan program mereka.

Standarisasi Kurikulum

Wenocur dan Reisch memandang profesionalisasi pekerjaan sosial sebagai suatu kepemilikan komoditas layanan yang spesifik yang jelas yang monolistik (yang hanya dimiliki oleh pekerjaan sosial) dengan ‘reward’ materi juga status. (“another monopolistic hold on a distribution of a particular service commodity with concomitant materials and status rewards”. )

Jadi ketika membicarakan pendidikan pekerjaan sosial , kita harus dapat menjawab  pertanyaan penting, sebagai pekerja sosial hal apa yang harus kita ketahui? Dan apa yang yang diharapkan dari seorang pekerja sosial? Tentu saja hal ini banyak mengundang perdebatan antara mereka yang terlibat di lapangan layanan sosial, para pendidik pekerjaan sosial, pembuat kebijakan, akademisi dan semua orang yang merasa terlibat. Perbedaan antara apa dan bagaimana menamakan pekerjaan sosial sebagai sebuah disiplin adalah dinamika awal terbentuknya pekerjaan sosial di Amerika. Di Indonesia, hal ini sedang berlangsung, kita semua sedang mencari bentuk dan formula untuk membentuk sebuah pekerjaan sosial yang dianggap ideal.

Namun, tentunya kita harus dapat bergerak cepat dan tidak berputar-putar dalam pembentukan sebuah nama, namun mencari titik persamaan akan bagian apa yang dapat kita lakukan. Dengan berjalannya waktu, ketika tuntutan profesi pekerjaan sosial kian menuntut keahlian yang spesifik, jelas dan sustainable, profesi pekerja sosial di Indonesia dituntut untuk memiliki tingkat akademik yang cukup hingga dapat menghasilkan tenaga professional dengan kemampuan spesifik dan berkualitas sehingga dapat berkompetisi dengan profesi yang lainnya.

Ketika hal ini tidak dilakukan, lahan pekerja sosial menjadi lahan yang dapat diserbu siapa saja. Yang dimaksud lahan disini adalah ranah pekerjaan dimana dibutuhkan keahlian yang sangat spesifik dan itu hanya bisa dilakukan oleh pekerja sosial. Ini bukan hal yang mudah. Ini bukan berarti kita dapat melabel satu produk yang bukan milik kita. Di Aceh pasca tsunami misalnya, banyak orang yang melihat pekerja sosial professional melakukan pekerjaan yang sangat berbeda dibanding dengan mereka yang tidak professional, misalnya, ‘produk’ yang dimiliki oleh pekerja sosial professional adalah produk dengan rangkaian sistematis, terarah dan terukur.

Keahlian ini tentu saja tidak bisa dilakukan dengan tingkatan pelatihan. (training vs pendidikan tinggi). Contoh yang tepat adalah usaha penting yang dilakukan oleh SWPRC dalam perlindungan anak yang diawali dari Aceh, pasca tsunami dan beberapa daerah di Indonesia lainnya. Perlindungan anak adalah salah area yang seharusnya dapat diklaim sebagai area andalan pekerjaan sosial di Indonesia yang bisa kita jadikan titik awal spesialisasi yang bisa dilakukan oleh peksos professional di Indonesia.

Standarisasi kurikulum adalah tuntutan dari munculnya beberapa program kesejahteraan sosial di Indonesia. Standarisasi adalah suatu proses yang tidak terelakan.  Standarisasi adalah kepentingan profesi , penting bagi kita untuk memiliki titik persamaan untuk jangka panjang, walaupun standarisasi bukanlah hal yang besar bagi konsumen dan pasar karena bila produk yang dihasilkan memiliki kualitas baik, pasar tidak terlalu melihat standarisasi sebagai ukuran (Mandinberg, 2009).

Salah satu cara standarisasi yang dapat diambil oleh profesi pekerjaan sosial, yaitu mengadakan konsorsium yang terdiri dari para ahli pekerjaan sosial, akademisi, pemerintah, organisasi-organisasi yang menyerap tenaga peksos dan beberapa tokoh masyarakat. Langkah ini diambil agar pekerjaan sosial memiliki tolok ukur akan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan peksos. Mengambil contoh di beberapa negara yang telah memiliki profesi pekerjaan sosial lebih awal dari Indonesia, misalnya CSWE (the Council of Social Work Education) yang berada di Amerika utara, adalah badan pendidikan peksos yang menentukan isi kurikulum inti pekerjaan sosial universitas.

Namun tolok ukur ini bukanlah ukuran yang baku yang harus diikuti mentah-mentah. Setiap universitas memiliki otoritas masing-masing bagaimana mereka ingin menyelenggarakan kurikulum-nya. Pertanyaan selanjutnya, tentang apa saja yang harus dimasukan sebagai isi kurikulum tersebut, tentu saja harus disesuaikan dengan konteks kebutuhan dan ‘pasar’ dari sosial work itu sendiri, di Vietnam, misalnya memasukan keterampilan komunikasi sebagai salah satu inti dari kurikulum mereka (Hugman, 2009).  Keseragaman menjadi penting bagi pendidikan peksos di Indonesia, karena kalau tidak, peksos sangat mustahil untuk diterima sebagai profesi, karena setiap lulusan tidak memiliki titik persamaan sama sekali.

Di luar universitas,  standarisasi lainnya adalah menyelenggarakan  bar exam dan grandfathering. Bar exam artinya semua orang yang ingin memiliki lisensi pekerjaan sosial harus melewati ujian ini dan lulus. Sedangkan grandfathering adalah pemberikan lisensi profesi bagi mereka yang memang sudah lama terjun di profesi ini tanpa melalui test. Di Amerika serikat, bar exam dan grandfathering diberlakukan berbeda di negara-negara bagian.  Di California, semua orang dapat mengikuti ujian ini, sedangkan New York hanya membatasi ujian ini bagi mereka yang memang lulusan pekerjaan sosial. Lain halnya dengan Jepang hanya karena memberlakukan bar exam, banyak mereka yang bekerja di area peksos dan sangat senior tidak memiliki lisensi, sekalipun mereka adalah professor senior di program peksos. Pertanyaan selanjutnya, bagi konteks Indonesia, apakah kita sudah saatnya melakukan ini ? keputusan tentunya ada di  tangan kita.

Berusaha untuk memahami  ‘nature’ pendidikan profesi pekerjaan sosial di Indonesia, -pekerjaan sosial terapan dan pekerjaan sosial akademis- penting bagi kita untuk kembali melihat sejarah profesi ini secara runtut dan menyeluruh. Lahirnya STKS (KDSA pada tahun 1957) sebagai lembaga pendidikan pekerja sosial di Indonesia ini menjadi begitu menarik untuk dibahas. Keterlibatan pemerintah secara langsung mendirikan badan pelatihan sebuah profesi adalah bagian secara sejarah dari banyak profesi di negara berkembang seperti China dan Turki. Keterlibatan pemerintah ini adalah salah satu langkah jarak pendek untuk dapat menyediakan pekerja sosial yang terlatih yang dapat memenuhi perangkat tuntutan struktural dalam pengembangan satu negara kesejahteraan (welfare state).

Salah satu spesifik yang dialami di Indonesia, adalah posisi pendidikan pekerjaan sosial yang berada pada Departemen yang berbeda. STKS yang dinaungi oleh Kementerian Sosial RI, misalnya lebih berorientasi pada program praktek, terlihat dari beberapa tulisan-thesis, skripsi dan makalah yang ada- yang telah dilakukan oleh lulusan  STKS yang memiliki komitmen riset yang lebih berbasis apa yang terjadi di lapangan (practicum related-practice). Sedangkan UI, UIN dan lainnya berada di bawah Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, yang isu nya lebih mengarah pada perbedaan ilmu dan profesi.

Untuk di UI (Haffey, 2009) program yang berada di bawah departemen pendidikan lebih mendalami analisa masalah dan kurang memiliki penekanan pada profesi pendidikan pekerjaan sosial. Untuk di UIN paling tidak ada isu mendasar yaitu peraturan pemerintah tentang persyaratan yang harus dimiliki seorang lulusan, tuntutan universitas mengharuskan mahasiswa untuk memiliki pengetahun akademis (beban sks) tertentu sedangkan tuntutan profesi menuntut mahasiswa untuk memiliki kredit praktikum yang tidak sedikit.  Jadi yang menjadi isu disini bukanlah pada universitas yang tidak menekankan pada isu praktikum namun lebih pada sistem ‘manajemen’ yang berbeda, untuk kasus UIN Syahida Jakarta, misalnya, 800 jam praktik sudah mulai di terapkan namun supervise masih menjadi kendala terbesar selain isu –isu lainnya.

Comments
49 Responses to “Pekerjaan Sosial atau Ilmu Kesejahteraan Sosial,,??”
  1. Nurul Ilmi says:

    Terimah kasih banyak kak tulisannya sangat bermanfaat

  2. assalamualaikum,wrwb.
    maaf mas, boleh saya minta nomor kontak mas untuk kebutuhan diskusi terkait ilmu kesejahteraan sosial, karena saya tidak standby online mas. sebelumnya perkenalkan nama saya Mutiara Maulida dari Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. ini nomor kontak saya 083 829 023 808. terimakasih mas. asssalamualakum,wrwb.

  3. muja says:

    sepertinya saya harus banyak belajar lagi tentang ilmu pekerajaan sosial kepada mas jo ..

  4. christina silalahi says:

    Mohon bantuan donk teman2. Saya mahasiswa baru untuk jurusan sosial work di Manila dan sekarang ini sedang diberi tugas untuk mempresentasikan tentang social work di Indonesia. Sudah berusaha cari bahan di google tapi hasilnya tidak memuaskan.

    Sekiranya ada yg mengetahui tentang sejarah perkembangan social work di Indonesia, mohon di share karena saya masih baru di dunia social work.

    Terima kasih

    • Kalo boleh Tahu, Mbak Christina ini belajar Social Work untuk tingkat S-1 atau S-2 ya..??

      Benar memang, untuk artikel di duni maya tentang Sejarah Social Work masih sangat minim sekali, tapi untuk buku, sudah ada beberapa diantaranya:
      1. Buku Rethinking Social Work Indonesia by Budi Rahman Hakim, MSW, alumni S-2 Social Work Kanada, terbit pada awal tahun 2010 silam
      2. Bunga Rampai dari Social Work Update STKS Bandung, diterbitkan oleh Samudra Biru Jogjakarta
      3. Mbak Christina dapat menanyakan kepada Pak Holil Soelaiman, beliau ada “sesepuh”nya Social Worker Indonesia. InsyaAllah beliau dapat bercerita banyak. Hubungi FB nya di sini http://www.facebook.com/#!/profile.php?id=100000481891793

      Semoga bermanfaat dan salam semangat selalu ^_^

  5. pekerjaan sosial lebih penting klo bagi saya karena kita garus membantu orang 2 yang masih belum mampu

    tapi ilmu kesejahteraaan sosiaal juga perlu

    jadi smua nya perlu deh

  6. Assalaamu’alaikum
    salam perjuangan buat teman2 aktifis peksos dimanapun kalian berada
    salam ta’aruf dari aq Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
    Nama Lengkap : Puji Kurniawan, S.Sos.I
    Nama beken : di dunia Anak2 Indonesia “KAK WAWAN JOGJA”
    mohon do’a semua teman2 aktivis Peksos dan Sanggar Dongeng Anak2 Indonesia
    kak wawan saat ini lagi tesis Insya Allah lancar yach..??
    Social Work / Interdisciplinary Islamic Studies

    • Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuh Kak Wawan Jogja 😉

      Wah, saya mengenal beberapa nama untuk teman-teman S-2 di UIN Suka Jogja lowh Kak, sebut saja Mas Miftahul Huda(sudah lulus ya), Mas… aduh siapa ya,,, kok lupa, tapi yang jelas, temen2 yang kemarin datang saat Kongres IPSPI bulan Februari 2010 di Jakarta, kemungkinan kenal nama saya,, Joko Setiawan, STKS Bandung,,, Mahasiswa Undergraduate Jurusan Rehabilitasi Sosial 🙂

      Semoga lancar dan dimudahkan dining Gusti Allah ya Kak Thesisnya (^_^)

      Salam semangat selalu dari Bandung

  7. zaldy munir says:

    Assalamu’alaikum…

    Wah, sudah lama saya tidak nongol di dunia maya… dan sudah lama juga saya tidak mampir ke blog ini.

    Apakabarnya, kawan? Wah, semoga kabarnya baik. AMIN!!! *[^_^]*

    • Wa’alaikumsalam wr,wb

      Hmm… Senangnya bisa melihat Kang Zaldy nongol lagi dan mampir ke sini,,, saya merasa terhormat atas kunjungannya kang 🙂

      Alhamdulillah sehat,,, Salam semangat selalu

  8. An says:

    salut ….
    tetangga saya ini memang hebat..
    tetep !semangat ! ganbatte kudasai!
    😀

  9. Noor Cassava says:

    Bersosialisasi memang wajib sebagai mahluk sosial yang bermasyarakat.. 🙂

  10. Wah,postingan sangat menarik bro.Thanks sharingnya ya. 😀

  11. Hariez says:

    hufhh… Joe, aku lumayan pegel baca nya, :mrgreen: tapi jujur, mungkin di negeri ini perbandingannya 1000/1-5 mendapati orang seperti dikau sobat…1000% saya kagum dan salut sobat..tetaplah berjuang sob, Do’a kami pasti mengiringi mu 😀

    salam hangat

    • Hohoho,, ,Iyah, lumayan Panjang Mas,,, paling tidak 5 menit lah untuk selesai membacanya,,, 7 menit untuk meresapinya, dan 10 menit untuk memahaminya,,, sudah diperhitungkan waktunya kok he he he 😉

      Amiinn,,,, Semangat dari mas Hariez sangat membantu lowh ,,,

      Salam semangat selalu

  12. Mamah Aline says:

    ilmu kesejateraan sosial yang bisa diaplikasikan untuk mensejahterakan keadaan sosial tertentu, sebagai bagian pekerjaan sosial kemasyarakatan maka akan lebih baik mas joe

    • Ilmu Pekerjaan Sosial ini amat sangat luas kok Mbak,, Mikro dan Makro, dan masing-masing memiliki peranan yang penting,, ,Dan tentu saja tujuannya hanya satu, yakni Mensejahterakan Masyarakat Indonesia ^_^

  13. omiyan says:

    moga orang seperti sampeyan makin bertambah dan kita butuh generasi seperti ini bukan yang disenayan sekarang

    sukses terus

  14. joe says:

    salam kenal ya…

  15. saya salut saja
    salam kenal juga mas joe 😀

  16. andipeace says:

    ga bisa koment saya mas joe… 😀 (sepuntene)
    cuma saget sanjang ” SALUT ”
    tetep semangat mas,sampean pasti saget..

    salam sukses

  17. Ikut nimbrung ya…….Mas, sudah lama aku nggak baca bahasan akademis mengenai ilmu sosial 😎

    • Silahkan, monggo Maasss,,,, 🙂

      Ini juga merupakan tulisan dari seorang pakar kok, bukan hasil tulisan saya pribadi he he he,,,
      Wah, saya sudah lihat Blognya, artikelnya semakin menarik saja untuk saya simak,,, aplikatif sekali daripada saya di kampus berkutat di banyak teori,,,,
      Salam semangat selalu Mas Khoirul…..

  18. Daoz says:

    pasti sangat gembira rasanya dapat bermanfaat bagi masyarakat banyak,,

    salam kenal^^

  19. Si Paijah says:

    hidup pekerja sosial!

  20. Mas Anto says:

    salut saya sama sobat satu ini, semoga kehidupan dan kesejahteraan sosial negeri ini segera terwujud

  21. erviana says:

    aku suka ini tapi yg di pakai di indonesia pakai kesejahteraan sosial moga qta bisa maju

Tinggalkan Jejak ^_^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: