Amna Menemukan Islam Kembali dalam Jiwanya
Amna Menemukan Islam Kembali dalam Jiwanya
Diterjemahkan secara bebas dari Bahasa Inggris oleh Joko Setiawan, A Social Worker, 32nd Trainee of Asian Social Welfare Worker’s Training Program by Japan National Council of Social Welfare (JNCSW/全国社会福祉協議会)
Saya Terlahir Sebagai Seorang Muslim, Tapi. . .
Saya tumbuh pada lingkungan dimana mereka tidak mengetahui tentang Islam.
Meskipun saya berstatus muslim sejak lahir, saya tidak begitu mengenal Islam secara lebih dalam sebelum akhirnya saya menemukan Islam kembali. Saya melakukan apa saja tanpa rasa takut (terhadap guru, anggota keluarga yang lebih tua dan sebagainya) dan tidak dengan kesepahaman. Saya berusaha untuk bisa menghindar dari keramaian, menutup diri dan tidak berteman dengan teman lawan jenis karena merasa “malu” dan “apa nanti yang akan tetangga katakan?”.
Itu adalah waktu di masa ketika saya memakai kerudung dari rumah dan melepaskannya ketika sampai di elevator (lift). Saya juga memakai kaos lengan pendek, bertindak bersabahat dengan perusahaan yang salah. Saya anggap itu sebagai bagian dari tumbuh menjadi dewasa. Namun, ketakutan akan pandangan orang membuat saya harus mengecek diri, dan saya tidak pernah menabrak garis (aturan). Alhamdulillah.
Terlepas dari hal tersebut, secara emosional saya terluka. Saya terlalu lama tinggal di masa lalu, pada poin di mana saya kehilangan fokus pada aspek lain dan saya pikir hidup ini menjadi tidak menyenangkan, paling menyedihkan diantara semuanya. “Mengapa selalu saya?” adalah pertanyaan yang secara terus menerus menggelayut di pikiran saya.
Sekolah saya mengajarkan pelajaran Agama Islam tiap dua pekan sekali yang mampu mengguncang saya, namun tidak cukup keras. Walaupun, itu membuat saya merasa mengerikan terhadap diri saya sendiri. Membuat saya menyadari bahwa saya yang sekarang ini nantinya akan jadi apa.
Bagaimana Awalnya Kembali Menemukan Islam
Suatu hari saya memutar salah satu video dari Nouman Ali Khan. Ceramah beliau sangat mengena, dan saya menjadi tidak bisa berhenti meneruskan dari video ke video berikutnya. Segera saya melihat diri ini mencari apa sesungguhnya Islam, pada apa yang sebelumnya tidak pernah saya hiraukan sebelumnya, dan sesuatu yang telah saya tolak hingga saat itu.
Apa yang saya pelajari adalah bahwa Islam adalah lebih dari sekedar menyelesaikan bacaan Al Qur’an selama 10 kali ketika di madrasah atau puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari selama sebulan penuh setiap tahun, atau jika tidak demikian akan masuk neraka.
Saya terus menyimak bincang Islami dan ceramah Islam oleh Nouman Ali Khan, Dr. Zakir Naik dan Mufti Menk. Jauh sebelum itu, saya melihat segala sesuatunya berbeda. Saya memulai untuk fokus pada hal yang positif, meyakini bahwa segala sesuatunya adalah merupakan rencana dari Allah, sebaik-baik Pembuat Rencana. Sebelumnya saya tidak bisa sabar terhadap orang lain, namun saya mulai berusaha untuk bisa sabar dan menghargai orang lain. Saya juga akhirnya tidak lagi meninggalkan sholat. Sungguh, saya telah diuji. Dengan orang-orang, kesabaran, juga kemarahan. Dan saya gagal berulang kali hingga tak terhitung jumlahnya. Saya masih berusaha dengan hal ini.
Berjuang untuk Bertahan Menggunakan Hijab
Setelah saya menyelesaikan sekolah menengah atas di Malaysia, saya kembali ke Jepang. Saya mulai memakai mengenakan hijab sejak di Malaysia. Meskipun, saya telah mengunjungi Jepang dua kali setelah perubahan itu, saya masih belum percaya diri, belum cukup memiliki keberanian untuk berjalan di tengah keramaian Jepang dengan mengenakan hijab. Jadi saya mengenakannya sejak dari rumah, dan melepaskannya di toilet boarding gate bandara. Tapi kali ini, saya bertekad untuk tidak melepaskan hijab. Tidak di Bandara Kuala Lumpur. Tidak di Bandara Narita. Tidak di bus belakang rumah. Ini sungguh merupakan tantangan karena saya merasa pandangan orang-orang selalu ditujukan kepada saya ketika saya memasuki toilet sebelum boarding pesawat. Ibu Saya menemui saya di bandara dan merasa terkejut ketika melihat saya mengenakan hijab. Ketika kami berada di bus, beliau mengatakan hijab warna putih yang saya kenakan cocok dengan saya. Saya berterima kasih kepada beliau dan mengatakan rencana bahwa akan memakai hijab mulai saat ini, di Jepang. Respon beliau sangat datar, dan begitu pula balasan respon saya kepada beliau.
“Mengapa? Kamu tidak memakainya sampai sekarang,” kata beliau, diikuti dengan gumaman “hmmm…”, beliau biasa melakukannya ketika sedang tidak menyetujui sesuatu.
“Jadi, saya sudah memutuskan, itu sebabnya”, balas saya. Seharusnya saya bisa lebih ramah.
Saya mengenakan hijab sampai di rumah. Tapi tantangan sesungguhnya adalah mengenakan hijab ketika berjalan di tengah keramaian, di mall, dan di stasiun-stasiun Jepang setiap hari. Pandangan dari orang-orang membuat saya merasa sangat tidak nyaman oleh karenanya saya menghabiskan waktu satu bulan pertama untuk berdiam diri di dalam rumah saja. Saya mencoba untuk lari ketika kemanapun saya pergi, menundukkan kepala, juga menghindari kontak mata dengan orang-orang.
Lalu secara bertahap pikiran saya berubah. Ini bukanlah hal yang buruk untuk berada posisi ini, untuk menjadi berbeda. Di Jepang, setiap orang diharapkan menjadi orang yang sama atau mirip. Jika tidak, mereka akan memandang dengan pandangan aneh (paling tidak itu yang saya dan rekan-rekan rasakan). Saya meyakinkan diri bahwa saya mengenakan hijab ini untuk Allah dan tidak memperdulikan hal buruk apa yang orang pikirkan. Akhirnya, tatapan-tatapan itu menjadi hal yang biasa. Juga kasak-kusuk orang itu menjadi tidak terlalu mengganggu.
Sekarang, ketika saya tahu ada orang yang menatap saya, saya juga akan menatap mereka dengan memberikan senyuman. Cobalah. Mereka akan melepaskan pandangan, atau membalas dengan senyuman pula.
—-
Saya tidak bisa mengekspresikan meski dengan ratusan halaman akan kecintaan saya terhadap Islam. Bagaimanapun juga, hal terindah yang saya temukan adalah ikatan antara sesama muslim. Apakah kalian berbicara dengan bahasa yang sama atau tidak, berasal dari etnis yang sama atau tidak, memiliki warna kulit yang sama atau tidak, berusia sama atau tidak, kalian tidak perlu khawatir untuk memulai percakapan dengan seseorang. Sebuah sapaan ringan, “Assalamu’alaykum” disertai senyuman adalah cara terampuh, dan akan terpersatukan dalam ikatan (Islam) selamanya.
NB: Amna merasa benar-benar kembali menemukan Islam dalam hidupnya pada akhir tahun 2011.
Pertama kali diterbitkan di sini http://thenewmuslim.co/portfolio/amna/ dalam versi berbahasa Inggris pada 08 November 2015.
Izumi chou, Takashima Shi – Shiga Prefecture, JAPAN
Senin, 04 Safar 1437 H/16 November 2015 pukul 07.36 waktu Jepang
Dipublikasikan otomatis secara terjadwal oleh WordPress pada hari Selasa, 17 November 2015 pukul 09.00 waktu Jepang
Comments
One Response to “Amna Menemukan Islam Kembali dalam Jiwanya”Trackbacks
Check out what others are saying...[…] Source: Amna Menemukan Islam Kembali dalam Jiwanya […]