FORKOMKASI dan Sekolah Kesejahteraan Nasional*

BAGIAN KEDUA – REFLEKSI KEPEMIMPINAN
FORKOMKASI dan Sekolah Kesejahteraan Nasional*
Para teman pengurus yang budiman di seluruh Indonesia, ada beberapa hal yang harus cepat kita pahami dan segera dicarikan jalan keluarnya. Tentunya para calon pekerja sosial yang ada di pengurus FORKOMKASI ini sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Kekuasaan akan menganalisis masalah yang sedang terjadi di pengurus, saya yakin sudah mahir dikuasai teman-teman pengurus sekalian. Kepahaman akan masalah internal dan eksternal yang sedang terjadi perlu segera kita atasi. Dan apa saja yang harus kita lakukan bersama.
Menyoal tentang FORKOMKASI, perlu kita khawatirkan tentang keberlanjutan organisasi ini, perlu kita pertanyakan apa yang telah terjadi, sedang terjadi dan yang akan terjadi. Perlu kita jawab bersama formula apa yang cocok untuk FORKOMKASI. Penting bagi kita menilik sejarah yang terjadi diantara FORKOMKASI di masa lalu dalam bentuk yang lain, penting bagi kita juga untuk mengambil pelajaran dari sejarah tersebut dan kita mencoba jika saja atau ternyata permasalahan tersebut terjadi di FORKOMKASI tercinta kita ini.
Saya (mencoba) yakin, bahwa di lubuk hati para pengurus masih tersimpan setitik atau pun setengah titik ruang untuk tidak melupakan FORKOMKASI di tengah kesibukan kita sebagai manusia pembelajar dan manusia konsumtif baik materi maupun non materi. Ruang tersebut yang menjadi modal untuk kita berpikir bersama bahwa masih ada tanggungan pekerjaan yang belum tuntas.
Tanggungan yang akan diperguncangkan di akhir tahun kepengurusan kita ini. Perlu segera kita sadari bersama, kebingungan yang terjadi di setiap bidang. Bingung untuk melakukan apa? Kebingungan akan kinerja ini memang sudah dapat kita ramalkan bersama. Bagaimana bergeraknya organisasi ini. Oleh karena itu tulisan ini mencoba untuk menggagas sebuah ruh perjuangan bersama di FORKOMKASI.
Sesuatu yang seharusnya dan senyatanya memang sering berbeda. Hal ini sering dinamakan dan dijadikan kata yaitu masalah. Masalah merupakan suatu yang tidak diinginkan tapi sangat diperlukan bagi sebuah perjalanan kehidupan apapun yang ada di dunia ini. Teori konflik mengajarkan kita bahwa keadaan konflik membuat sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Penggagas teori ini juga mengatakan bahwa masyarakat selalu pada situasi dinamis yang penuh dengan konflik. Namun akhir dari konflik selalu ada dua kemungkinan yaitu makin bersatu atau bercerai. Di sini perlu adanya sentuhan manajemen kondisi yang bijak.
Pada hakikatnya, kesempurnaan adalah pemilik pembuat peraturan dan kemudian menjalankannnya sesuai peraturan. Berkata “seharusnya” yang terjadi di FORKOMKASI sesuai dengan peraturan kita yang disepakati sebetulnya harus, namun menjadi tidak bijak ketika kita berkata seharusnya akan tetapi kita tidak menjalankan peraturan yang kita sepakati bersama. Kondisi Senyatanya FORKOMKASI yang berjarak, waktu kesibukan, dan pendanaan menjadi tameng yang ampuh untuk berlindung dari melakukan sesuatu. Padahal minimnya kesadaran, kemauan dan kemandirian adalah faktor utama yang melemahkan kita semua (menurut penulis).
Saya pernah mengajukan sistem kinerja kemandirian. Apa yang bisa kita lakukan untuk kebaikan FORKOMKASI, sekecil apapun adalah penting adanya, dibandingkan dengan sebuah kata perintah bagi yang lain, harusnya seperti ini atau itu. Atau hanya sebuah pertanyaan mana geraknya?
Faktor kepemimpinan sering sekali dijadikan alasan kegagalan organisasi, padahal hemat saya bahwa kepemimpinan kolektif (team work) itu adalah hal yang lebih penting dibandingkan kepemimpinan individual. Oleh karena itu jika kegagalan organisasi ditujukan hanya kepada pemimpin adalah salah, yang terjadi bahwa kegagalan itu harus ditujukan kepada tim. Karena pemimpin tidak pernah ada tanpa adanya yang dipimpin dan sebaliknya. Artinya adalah pemimpin tidak akan mampu menjalankan sesuatu tanpa adanya kepatuhan yang dipimpin untuk menjalankannya.
Hubungan saling ketergantungan yang terjadi harus dijadikan sebuah mekanisme saling menutupi satu dengan lainnya. Kesinergisan antara hubungan pemimpin dan bawahannya itu terwujud dari selesainya tugas masing-masing bagian akan tanggung jawabnya. Cukup dengan itu, menurut hemat saya, FORKOMKASI akan berjalan. Sebagai contoh sederhana, jika otak yang ada di tubuh manusia memerintahkan kaki untuk berdiri dan berjalan, namun kaki tidak mau bergerak, apakah tubuh tersebut akan berdiri dan berjalan? Ketimpangan inilah yang sedang terjadi di tubuh FORKOMKASI. Mari kita mencari formula yang tepat untuk dapat menjalankan dan kita wariskan kepada para penerus kita.
Saya mencoba untuk menggagas, arah tujuan FORKOMKASI. Sebagai analogi Sebuah tubuh hanya dikatakan jasad ketika tidak ada ruh di dalamnya, artinya tubuh itu adalah mayat. Mayat berarti sesuatu yang tidak hidup. Karena perlu kita definisikan bahwa mati itu terpisahnya antara ruh (nyawa) dengan jasad. Ini sebuah analogi untuk FORKOMKASI. Jika FORKOMKASI ada, baik secara nama ataupun fisik ke-struktural-an. Namun tidak ada ruh perjuangan yang jelas maka bisa dikatakan mayat. Mari kita bertanya apa yang menjadi ruh perjuangan kita? apa yang dilakukan? Apa yang dilawan? Apa yang sedang diperjuangkan? Kenapa saya melakukan itu? Kenapa harus seperti itu geraknya? Kenapa dan kenapa. Semakin banyak kita bertanya dan menjawabnya semakin dekat kita menemukan ruh bersama. Descartes pun berkata cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Pemikiran kita ini menetukan keberadaan kita.
Para teman kessos Indonesia, jika kita menilik sejarah tentang HIMAKSI (Himpunan Mahasiswa Kesejahteraan Sosial Indonesia) yang didirikan pada tahun 2000 awal. Dan akhirnya tenggelam pada tahun kedua, perlu kita analisis bersama, kenapa dan apa yang terjadi? sehingga tidak berkelanjutan. Banyak asumsi pribadi saya kenapa akhirnya menghilang. Pertama, bisa jadi HIMAKSI belum dapat menentukan arah perjuangannya, kedua, bisa jadi HIMAKSI gagal dalam mengkader keberlanjutan organisasi, bisa jadi HIMAKSI menemui kendala komunikasi yang pada waktu itu akses internet tidak dapat ditemukan dengan mudah di setiap daerah. Dan tidak menutup kemungkinan pada waktu itu tidak ada Facebook seperti sekarang yang mudah menyapa semua teman se-Indonesia. Namun menurut pribadi saya yang bisa jadi benar adalah HIMAKSI belum sampai pada titik menemukan jati diri yang sebenarnya (ruh perjuangan). Akan tetapi itu baru hipotesa saya. Bisa jadi dugaan itu tepat dan sebaliknya.
Jika dugaan bahwa HIMAKSI tenggelam karena belum pada titik menemukan arah perjuangan yang jelas, maka hal tersebut mungkin saja terjadi pada FORKOMKASI yang tenggelam setelah kepengurusan ini.
Fenomena pertanyaan yang meresahkan dan membuat gerah para pengurus di group Facebook, menjadi latar belakang tulisan ini. Asumsinya adalah orang bertanya karena tidak tahu, namun ada asumsi lain bahwa orang bertanya karena tahu. Asumsi pertama jelas, bahwa ketika dia bertanya karena memang tidak tahu. Hal itu yang melandasi dia bertanya, untuk asumsi kedua, saya ambil contoh seperti ini. Apakah anda pernah Tanya tentang “ZOROZ”? atau bertanya tentang “ZOKOK” ? jika anda belum pernah bertanya tentang hal itu berarti anda belum pernah tahu benda itu. Makanya anda tidak pernah bertanya. Akan tetapi jika anda tahu benda itu namun belum jelas akhirnya anda akan bertanya lagi untuk memperjelas dan lebih memahami benda tersebut. Menurut pengamatan saya, pertanyaan yang muncul di group berdasarkan asumsi kedua, karena yang bertanya adalah mereka yang mengikuti dan menyepakati adanya FORKOMKASI, oleh karena itu sangat wajar jika mereka bertanya. Pertanyaan mereka dilandasi karena tahu namun masih belum paham tentang gerak FORKOMKASI. Karena belum ada yang menjelaskan dan merumuskan bagaimana arah gerak organisasi tercinta ini.
Untuk memulai arah mana yang akan kita tempuh, kita bertanya terlebih dahulu, apa yang melandasi terbentuknya FORKOMKASI? Ternyata FORKOMKASI muncul karena adanya kesamaan nasib yaitu jurusan Kesejahteraan Sosial dan kebutuhan akan sebuah ruang untuk eksistensi pada tingkat nasional. Setelah itu kita bertanya akan menjadi gerakan seperti apa FORKOMKASI ini? Pertanyaan itu sudah dimunculkan oleh Bapak Sapto Waluyo sebagai pembicara pada Rakernas I di Jogja. Mari kita jawab bersama, apakah akan menjadi komunitas berkumpulnya mahasiswa kessos se-Indonesia saja yang senantiasa menyelenggarakan yang berbau Festivus semata, atau akan menjadi gerakan intelektual yang berdiskusi untuk pengembangan keilmuan kita, atau akan menjadi gerakan sosial turun ke masyarakat? Itu semua harus kita petakan.
Jika kita memilih menjadi komunitas berkumpul, maka ruhnya adalah paguyuban yang memiliki intensitas bertemu dan bersilahturahmi antar universitas dan membuat acara-acara yang bersifat kebersamaan (reuni, pertemuan kessos se-Indonesia atau jalan santai bersama). Jika kita memilih menjadi gerakan intelektual, maka ruhnya adalah diskusi yang mendalam tentang keilmuan dan tentang isu kesejahteraan lalu menuliskannya dan dijadikan produk unggulan sebagai perlawanan intelektual. Atau kita memilih menjadi gerakan sosial, maka ruhnya adalah turun langsung ke masyarakat dan mencoba mengaplikasikan semua ilmu pekerjaan sosial yang telah diajarkan. Kita tinggal memilih apa yang akan kita perjuangkan. Karena FORKOMKASI ibarat kertas yang siap ditulis, Ibarat kayu yang siap dibangun, ibarat manusia yang masih bayi, siap berdiri dan melangkah untuk belajar.
Saya mencoba untuk menawarkan sebuah ide yang berusaha menjembatani kebingungan kita untuk menjawab apa yang akan kita perjuangkan. Jika kita memiliki kendala tentang waktu, jarak, dan komunikasi. Kita coba mencari waktu bersama yang luang untuk bertemu, kita berusaha mencari tempat untuk berkumpul bersama dan melakukan komunikasi secara tatap muka jika memang berkomunikasi dunia maya kurang efektif.
Waktu bersama yang luang kita miliki 2 (dua) kali dalam setahun, yaitu liburan setelah semester ganjil dan liburan setelah semester genap. Waktu liburan ini kita gunakan untuk berkumpul melakukan tatap muka dan berkomunikasi secara efektif. Waktu tersebut digunakan untuk bergerak bersama agar tidak mengganggu waktu belajar dan berorganisasi kita di setiap universitas.
Lalu pertanyaannya apa yang dilakukan jika kita bertemu? Apakah setiap kita bertemu hanya untuk melakukan pergantian kepengurusan saja. Dan setelah itu hilang, lalu diam dan bertemu lagi untuk pergantian kepengurusan lagi? Tentu tidak oleh Karena itu kita perlu mencari sebuah acara yang berkelanjutan di liburan yang kedua yaitu liburan semester genap.
Saya menawarkan sebuah program yang saya beri nama “sekolah kesejahteraan”. Sekolah kesejahteraan berlandaskan konsep social empowerment. Pemberdayaan yang kita lakukan berupa mengembangkan kapasitas masyarakat dari teori hingga praktek. Kurrikulumnya bermacam-macam. Dari pemahaman keilmuan, sampai hal yang praktis seperti soft skills, entrepreneurship, dan mengelola potensi daerah yang dimiliki oleh daerah tersebut. Target yang mengikuti sekolah adalah remaja sampai dewasa. Namun memiliki jenjang yang berbeda, dibedakan secara umur dan kemampuan.
Yang melakukan sekolah kesejahteraan adalah para perwakilan mahasiswa dari setiap universitas yang menjadi anggota FORKOMKASI. Sebelum mereka turun kelapangan, para mahasiswa diberikan pembekalan oleh para ahli selama 2 (dua) minggu. Kemudian turun kelapangan selama 4 (empat) minggu. 1 (satu) minggu pertama adalah observasi dan mempersiapkan sekolah, dan 3 (tiga) minggu kemudian adalah sekolah kesejahteraan. Output dari sekolah kesejahteraan ini adalah terbentuknya kader kesejahteraan di desa dan terbentuknya sebuah usaha bersama yang menjadi mata pencaharian masyarakat desa. Atau jika output itu sulit dicapai, setidaknya kita menanamkan mimpi dan menabur benih keilmuan kessos kepada masyarakat dan mengenalkan FORKOMKASI kepada masyarakat.
Itu adalah konsep kasar dari usulan saya. Hal ini hampir mirip dengan KKN di setiap universitas namun memiliki perbedaan dengan adanya pembekalan yang matang dari para ahli dan juga sinergisitas dengan pilar-pilar kessos Indonesia sehingga program ini dijadikan sebuah program bersama.
Ide ini semoga menjadi ruh perjuangan kita. Dan menjadi awal diskusi kita tentang permasalahan perjuangan kita. Mencoba untuk menjawaban keresahan pertanyaan para pemerhati FORKOMKASI yang sejati.
Sebelum saya akhiri tulisan ini. Perlu kita ketahui bersama bahwa harus ada 3 (tiga) motif yang menjadi landasan kita bergerak yaitu, kesadaran, keinginan dan kehendak. Kesadaran dilandasi oleh kepahaman, paham berarti tahu dan mengerti. Kepahaman seseorang menimbulkan kesadaran, namun sadar belum berarti akan melakukan sesuatu, sebagai contoh saya sadar bahwa olahraga itu bagus untuk kesehatan, akan tetapi belum tentu saya melakukan olahraga.
Setelah memiliki kesadaran maka hal yang harus kita miliki bersama adalah keinginan. Keinginan dilatar belakangi oleh mimpi dan ide. Dari mimpi dan ide tersebut kita menjadi ingin untuk berbuat. Selanjutnya kita harus memiliki kehendak. Kehendak ini saya mengartikan bahwa adanya tindakan. Namun saya tidak memakai kata tindakan karena kata tindakan sering dipisahkan dengan kata ide pribadi. Bisa jadi orang melakukan tindakan bukan dilandasi oleh ide pribadi namun oleh perintah atasan atau orang lain. Akan tetapi kehendak itu tindakan yang dilandasi dari keinginan pribadi untuk melakukan tindakan. Sebagai contoh semua yang terjadi di dunia ini adalah Kehendak tuhan. Itu semua adalah kehendak saya (ini adalah tafsiran pribadi saya tanpa landasan penelitian).
Terkadang kita sadar bahwa kita memiliki masalah, namun kita tidak melakukan sesuatu untuk menyelesaikannya malah menambah masalah dengan mempermasalahkannya. Kesadaran saja tidak cukup tanpa adanya keinginan pribadi kita untuk bertindak dan melakukan pengorbanan. Kesadaran dan keinginan juga masih belum cukup jika tidak adanya kekuatan untuk berkehendak melakukan sesuatu hingga terjadinya sebuah hasil.
Hanya itu mungkin yang ingin saya sampaikan pada tulisan ini. Semoga ini menjadi sebuah renungan bersama dan menjadi landasan kita berpikir arah gerak kita. Saya yakin bahwa tulisan ini tidak menjawab semua keresahan pengurus. Oleh karena itu mari kita teruskan dengan tulisan selanjutnya dan gerakan selanjutnya. Semoga tidak berhenti sampai sini. Selamat mencari ide bersama kita.
NB: Tulisan ini dibuat oleh Sekjen FORKOMKASI di ambang masa kepengurusannya pada periode 2011-2012, dan khusus disampaikan kepada pengurus aktif FORKOMKASI masa bakti 2011-2012. Semoga menjadi bahan perenungan bersama, bahwa FORKOMKASI masih harus terus banyak berbenah, banyak belajar, sehingga benar-benar dapat menjadi organisasi yang mampu memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara Indonesia tercinta.
*Oleh: Aziz Suhendar, Alumni Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Universitas Gajah Mada (UGM)
Sekretaris Jenderal (Sekjen) FORKOMKASI Periode 2011-2012
—
Kutipan: “Ilmu bagaikan hewan buruan, dan tulisan/pena adalah ibarat tali pengikatnya. Oleh karena itu ikatlah hewan buruanmu dengan tali yang kuat” [Imam Syafi’i]
Dipublikasikan otomatis secara terjadwal oleh WordPress pada hari Kamis, 12 November 2015 pukul 15.00 waktu Jepang