Standar Pelayanan Panti Sosial Anak di Jepang*

Standar Pelayanan Panti Sosial Anak di Jepang*
*Oleh Joko Setiawan, A Social Worker, 32nd Trainee of Asian Social Welfare Worker’s Training Program by Japan National Council of Social Welfare (JNCSW/Zenshakyou)
Beberapa hari yang lalu berkesempatan untuk berbincang dengan orang nomor satu di salah satu lembaga pelayanan sosial (semacam panti sosial) untuk anak-anak dari usia 0 sampai 18 tahun, namanya Soga san. Hampir 90 persen dari klien di lembaga ini adalah anak korban kekerasan, baik dari kekerasan fisik, perkataan maupun seksual. Banyak hal menarik yang menjadi tambahan ilmu pengetahuan bagi seorang warga Negara Indonesia seperti saya ini. Kalau kebanyakan kita melihat Negeri Jepang sebagai negeri hebat dan penuh kekaguman, saya alhamdulillah berkesempatan untuk melihat Jepang dari sisi permasalahan dan pelayanan sosial bagi warga masyarakatnya.
Pelayanan sosial terhadap anak-anak secara institusional telah dimulai ketika usai Perang Dunia I dan II, dimana kala itu banyak anak-anak yang kehilangan bapaknya, atau bahkan kehilangan kedua orang tuanya. Kemudian berdirilah lembaga-lembaga pelayanan sosial tersebut. Dahulu mereka menyebutnya sebagai Kojiin Shisetsu (こじいん施設) yang artinya adalah Lembaga Yatim-Piatu. Inilah kelebihannya Jepang, mereka sampai memikirkan penggunaan istilah, untuk menjaga perasaan anak-anak, pemerintah menetapkan penyebutan nama yang berbeda, yang sekarang disebut sebagai Jidou Yougo Shisetsu (じどうようご施設) yang memiliki arti kurang lebih sebagai Lembaga Perlindungan Anak.
Sejak tiga puluh tahun yang lalu, tren penduduk Jepang adalah terus meningkatnya jumlah orang lansia yang membutuhkan pelayanan dan jaminan sosial untuk masa tuanya, juga semakin minimnya angka kelahiran yang berarti semakin sedikit jumlah anak-anak. Dari kondisi yang demikian, masih terdapat permasalahan sosial pada anak, seperti tindak kekerasan, pelecehan seksual, dibuang oleh orang tuanya, lahir tapi orang tua meninggal dunia, dan lain-lain. Itulah mengapa pelayanan sosial terhadap anak sangat diperlukan keberadaanya.
Dijelaskan oleh Soga san bahwa pelayanan sosial terhadap anak di seluruh Jepang saat ini hampir 90%-nya berada di dalam lembaga (yayasan). Mulai dari sekarang, telah digodok aturannya oleh pemerintah, bahwa komposisi pelayanan dibagi atas tiga kelompok besar: 1)33% persen pelayanan berbasis lembaga; 2)33% adalah orang tua asuh; dan 3)33% pelayanan berbasis family home.
Bagi negara maju lainnya, dari pengakuan kawan sesama trainee yang berasal dari Taiwan dan Korea Selatan, family home sudahlah akrab di telinga mereka. Konsep family home bisa dipraktikkan kepada pelayanan sosial lanjut usia, difabel, dan juga anak-anak. Penjelasan mudahnya, family home ini adalah konsep menyewa satu rumah yang terdiri dari 6-8 orang klien dan ada shokuin (karyawan lembaga/yayasan) yang bertugas di situ. Bisa juga yang mendampingi bukan shokuin, melainkan para relawan yang telah mendapat jaminan dari lembaga. Family home ini gunanya agar para klien dengan kekurangannya tetap bisa melaksanakan kegiatan keseharian tanpa harus selalu menggantungkan diri kepada orang lain.
Konsep family home bisa jadi dirasa tepat oleh negara maju semacam Jepang, Taiwan dan Korea, tapi belum tentu cocok untuk masyarakat Indonesia. Konsep tersebut muncul lantaran jumlah anggota keluarga di ketiga negara yang telah saya sebutkan itu memang terbilang kecil. Kebanyakan suami-isteri bekerja di luar rumah, dari pagi-malam, tidak ada yang bisa mengurus orang-orang berkebutuhan khusus di rumahnya. Tapi kalau di Indonesia, jumlah anggota keluarga terbilang besar, dan bisa tetap saling membantu satu sama lain.
Satu hal lain yang menjadi perhatian menarik adalah bahwa setiap orang karyawan terpatri dengan sangat baik di dalam pikirannya bahwa tujuan mereka adalah memberikan pelayanan yang terbaik, melakukan usaha terbaik untuk klien. Maka, dari sisi bangunan, fasilitas, pola gizi makanan, dan program benar-benar diwujudkan sebagai suatu hal yang bisa membuat nyaman para klien.
Mungkin saja fondasinya sangat berbeda dengan di Indonesia. Kebanyakan pelayanan sosial yang mendapatkan dana dari pemerintah adalah lembaga-lembaga yang memang berstatus milik pemerintah. Kita tahu juga bahwa para PNS di Indonesia masih banyak yang tidak bisa diharapkan. Sehingga pelayanan yang bisa mereka berikan juga standar-standar saja, asal kerja beres, asal dana terserap dan lain-lain. Sedangkan di Jepang, Kementerian yang membidangi masalah Sosial-nya itu hampir tidak memiliki struktur lembaga di bawahnya yang memberikan pelayanan langsung terhadap klien.
Pemberi lembaga pelayanan sosial di Jepang hampir seluruhnya dipegang oleh Non Profit Organization/NPO (Houjin/ほうじん/Corporation), yang kemudian NPO tersebut memiliki banyak cabang pemberi pelayanan langsung yang disebut dengan Shisetsu (施設). Para NPO tersebut juga tidak perlu bersusah payah untuk mencari dana, karena semuanya berasal dari pemerintah. Kalaupun klien harus membayar sendiri, sejatinya uang yang dimiliki klien tersebut juga berasal dari pemerintah.
Dahulu standar pelayanan panti sosial anak untuk satu unitnya bisa terdiri dari 10-20 anak, yang tidur secara bersama-sama hanya beda kasur, seperti layaknya barak tentara militer. Hal semacam itu sepertinya masih terjadi di negeri kita Indonesia. Namun, akhir-akhir ini pelayanan sosial untuk anak paradigmanya telah berubah. Contohnya di lembaga saya belajar sekarang, per satu unit hanya berisi 6-8 orang anak saja. Itupun untuk memenuhi standar privasi, tiap satu anak memiliki kamar sendiri, meski letaknya bersebelahan. Di situ terdapat fasilitas mesin cuci, televisi, video game dan meski demikian tetap terjaga kebersihan sepanjang waktu. Makan dengan menu yang enak dan ya bersama-sama 6-8 orang anak itu saja. Maka, dapat saya katakan bahwa pelayanan untuk anak di sini sangat nyaman, sangat mendukung upaya pemulihan kondisi traumatis anak.
Dari sisi manusianya, para karyawan sangat bersahabat dengan anak-anak, bahkan mereka tak segan dan berulang kali meminta maaf kepada anak-anak saat tiba-tiba mereka marah, meski penyebabnya sebenarnya tidak jelas, hanya karena mereka memang sulit untuk mengontrol diri (banyak yang minum obat secara rutin). Para karyawan menyadari kondisi psikologis dan medis anak-anak klien tersebut, dan secara perlahan berusaha bersama-sama mengembalikan keberfungsian sosial mereka.
Salam hangat dan semangat selalu dalam dekapan ukhuwwah.
Minami ku, Sagamihara Shi – Kanagawa Ken, JAPAN
Ahad, 17 Syawal 1436 H/02 Agustus 2015 pukul 11.30 waktu Jepang
Dipublikasikan otomatis secara terjadwal oleh WordPress pada hari Ahad, 02 Agustus 2015 pukul 15.00 waktu Jepang
Comments
4 Responses to “Standar Pelayanan Panti Sosial Anak di Jepang*”Trackbacks
Check out what others are saying...-
[…] good as the one in developed country such as an example that my friend Joko shared in this article (https://bocahbancar.wordpress.com/2015/08/02/standar-pelayanan-panti-sosial-anak-di-jepang/) . In the other hand, I do understand why Indonesia is still struggling to improve its orphanage […]
terima kasih sebelumnya
kak, di Jepang ada berbagai macam jenis Panti asuhan ya (yougoshisetsu) dilihat dari perbedaan umur, tlong share dong ttg itu, saya nyari buku ttg panti asuhan di Jepang belum ketemu sampai sekarang, buat bahan skripsi
Halo, Tia kuliah dimana? Judul skripsinya tentang apa? Bisa gitu ya ambil skripsi kajian dari negara lain ?
Ya, kalau nyari handbook dalam bahasa Inggris, ya susah… Mereka sangat terbatas sekali menerbitkan publikasi dalam Bahasa Inggris.
Namun, kamu bisa ubek di website Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan di sini http://www.mhlw.go.jp/english/
Good luck ya 🙂