Catatan Observasi ke Lembaga Pelayanan Sosial di Tokyo*

Catatan Observasi ke Lembaga Pelayanan Sosial di Tokyo*
*Oleh Joko Setiawan, A Social Worker, 32nd Trainee of Asian Social Welfare Worker’s Training Program by Japan National Council of Social Welfare (JNCSW/Zenshakyou)
Judul dari kegiatan training saya di Jepang ini adalah “Asian Social Welfare Workers Training Program”, namun sampai dengan hari ini, faktanya saya masih terus belajar bahasa Jepang 6 jam sehari dari Senin sampai dengan Jum’at. Setelah saya tanyakan kepada Kokusaibu (International Division), ternyata pihak Zenshakyou memang menghendaki seluruh trainee dapat menguasai Bahasa Jepang dengan baik agar ketika OJT ke lembaga pelayanan sosial di Jepang nanti bisa lebih mendalami ilmu baik dari sisi fakta empiris hingga psikologis.
Setelah kemampuan bahasa dirasa mampu untuk menangkap penjelasan dalam bahasa Jepang (setelah 2,5 bulan intensif belajar bahasa Jepang), diadakanlah program Kengaku (observasi) ke beberapa lembaga pelayanan sosial di sekitar kota Tokyo. Adapun angkatan 32 ini mengunjungi lembaga Shougaisha (difabel), Homuresu (gelandangan), dan juga Koureisha (lansia).
AKEBONO GAKUEN
Kengaku (observasi) pada tanggal 19 Juni 2015.
Nama lengkap dari lembaga ini adalah Zenkoku Jyushoushinshin Shougaisha Tsuuen Jigyou A gata Shisetsu Akebono Gakuen. Cukup rumit ya, oleh karenanya kita cukup mengingat nama Akebono Gakuen (dalam bahasa Inggris: The Dawn) saja. Alamatnya berada di Mishuku Setagaya ku, Tokyo. Lembaga ini khusus memberikan pelayanan kepada klien dengan keterbatasan intelektual dan keterbatasan fisik yang cukup berat. Akebono Gakuen pertama kali dibuka oleh Asosiasi Nasional pada tahun 1969 dan pada tahun 1970 dipercayakan oleh Pemerintah Kota Tokyo. Dengan demikian bukan berarti lembaga ini adalah milik pemerintah, namun lebih pada sekedar mandatoris dan pertanggungjawaban semata. Orang-orang di lembaga ini adalah pegawai swasta.
Saya sangat kagum dengan pelayanan yang diberikan oleh Akebono Gakuen. Dengan hanya berkapasitas 25 orang per hari, mereka memberikan pelayanan yang terbaik untuk klien. Tidak ada klien yang tinggal menginap di lembaga ini, mereka tinggal di rumah masing-masing yang semuanya setiap hari dijemput oleh mobil khusus jemputan.
Klien terdiri dari balita (sekitar 3 anak), dewasa dari usia 18 tahun ke atas dan bahkan sampai ada satu klien yang berusia 50 tahun. Kegiatan yang dilakukan terjadwal dengan rapi, dan proses perencanaan kegiatan disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan dari masing-masing keluarga. Saya rasa ini adalah poin yang sangat bagus karena adanya kerjasama dari pihak lembaga dengan keluarga. Keterikatan proses pelayanan pada kedua belah juga dapat berjalan beriringan.
Adapun beberapa kegiatan yang dilakukan bersama klien diantaranya, 1)untuk kegiatan harian seperti: mendengarkan/main musik-lagu-percusi, membaca buku bergambar, trampolin, berenang, berendam air panas (ofuro), pembuatan handycraft dan lain-lain; 2)training seperti: terapi fisik, terapi okupasional, terapi bicara, dan terapi makan (oleh dokter gigi); 3)kegiatan tahunan seperti: perayaan penerimaan klien baru, melihat sakura mekar, festival musim panas, perayaan Natal, rekreasi dan lain-lain.
Beberapa hal yang membedakan antara pelayanan sosial di negara maju seperti Jepang dengan Indonesia menurut saya adalah pada sistem mekanisme alur pelayanan yang telah baku dan berjalan secara baik. Berawal dari dukungan penuh dari pemerintah mengenai sumber dana dan juga data yang akurat, sampai kesadaran orang tua untuk secara serius mengurus anaknya meski dengan keterbatasan yang sedemikian rupa.
Melalui mekanisme pajak dan juga asuransi, Pemerintah Jepang amanah dalam mengelola dana dan dapat menyalurkannya kepada warga masyarakat Jepang secara tepat dan tanpa banyak korupsi sebagaimana mental kebanyakan orang di Indonesia. Alhamdulillah seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat kita juga mengalami peningkatan kesadaran mengenai arti penting sebuah pelayanan dan menolak korupsi sekecil apapun. Namun secara sistemik, PR kita masih panjang dan perlu banyak perbaikan.
Akebono Gakuen memberikan gambaran bahwa mereka yang secara teori mahzab Kapitalisme mungkin disebut sebagai kelompok residu (yang tidak bisa memberikan kontribusi untuk bangsa), masihlah dihargai dan diberikan hak-hak hidup dan menikmati selayaknya manusia. Semangat inilah yang dijadikan dasar Akebono Gakuen dalam memberikan pelayanan terbaiknya dengan percaya bahwa, “No matter how severely disabled, every child is living his or her life. To grow up in their own way, please secure their lives” (kutipan dari Akebono Gakuen).
HAMAKAZE
Kengaku (observasi) pada tanggal 26 Juni 2015.
Nama lengkap dari lembaga ini adalah Yokohama shi Hoomuresu Jiritsusien Shisetsu Hamakaze. Beralamat di Nagaku Katabuki cho, Yokohama shi, Kanagawa nen, sebuah prefektur di sebelah kota Tokyo. Sebuah lembaga sosial yang memberikan pelayanan terhadap para homeless (gelandangan) di kawan Yokohama shi (Kanagawa ken) dan sekitarnya. Hamakaze adalah lembaga besar dengan kapasitas 250 orang klien laki-laki dan 20 orang klien perempuan. Namun pada saat kami observasi ke sana, klien yang ada sekitar 140 orang laki-laki dan 2 orang perempuan.
Yang menarik adalah Jepang yang kita anggap sebagai negara maju, ternyata juga memiliki gelandangan yang tidak sedikit. Alasan mengapa ada orang yang menjadi gelandangan adalah karena kondisi diri yang tidak bisa mengatur kehidupannya, susah untuk berinteraksi dengan orang lain, dan tidak amanah ketika mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Umumnya mereka juga orang-orang yang berusia 40 tahun ke atas, dengan pendidikan rendah dan kemampuan/skill terbatas.
Di lembaga inilah, mereka diberikan pelayanan seperti makan dan tempat tinggal, serta dukungan untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Di sini mereka akan belajar maksimal 6 bulan pendampingan untuk bisa mengatur cara hidup keseharian dan berujung kepada kemandirian hidup dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.
Kalau kita mengesankan orang Jepang adalah orang yang “gila” kerja dan sangat disiplin, kita akan mendapati orang-orang homeless ini sebagai orang yang biasa kita temui di Indonesia yang lebih senang melakukan hal tidak jelas dan enggan bekerja. Ini bukanlah simtom bawaan, karena itulah Hamakaze bertekad untuk bisa memberikan pelayanan terbaik, sehingga mampu menjadikan klien mereka orang-orang yang mandiri dan bermanfaat bagi lingkungan.
NAGISA WARAKUEN
Kengaku (observasi) pada tanggal 03 Juli 2015.
Nama lengkapnya adalah Tokubetsuyou Ryoujin Hoomu Nagisa Warakuen. Berlokasi di Nishikasai Edogawa ku, Tokyo. Lembaga ini memberikan pelayanan terhadap klien lanjut usia dengan tingkat ketidakberfungsian tubuh yang berat. Seperti tidak bisa mandi atau pergi ke toilet sendiri dan tidak bisa makan sendiri.
Hal paling menarik di Jepang terkait dengan permasalahan sosial adalah dengan terus meningkatnya jumlah lanjut usia, tapi jumlah anak-anak sangat kecil. Hal tersebut memberikan implikasi bahwa jumlah angkatan kerja sedikit, sedangkan jumlah tanggungan lanjut usia yang membutuhkan pelayanan sangat banyak. Hal ini dapat dipahami sebagai kekhawatiran pemerintah Jepang karena asal dana untuk mengurus rakyatnya adalah dari pajak yang telah dibayarkan dan juga asuransi khusus untuk jaminan hari tua. Namun, ketika kondisi angkatan kerja yang minim itu dibiarkan secara terus menerus, akan berdampak langsung pada daya beli belanja masyarakat dan berarti pendapatan negara melalui pajak berkurang drastis.
Nagisa Warakuen juga lembaga yang sudah lama berdiri, yakni semenjak tahun 1963. Saat ini, Nagisa Warakuen memiliki kapasitas 120 klien dan 20 bed untuk short stay. Sebagaimana dua lembaga yang saya bahas sebelumnya, lembaga sama sekali tidak memusingkan permasalahan dana. Karena semuanya sudah tersistem dengan rapi, baik komunikasi dengan pemerintah maupun hubungan langsung dengan keluarga klien. Maka, tak perlu lembaga bersusah payah mengajukan proposal kesana-kemari untuk dapat terus menjaga keberlangsungan hidup lembaganya.
Nagisa Warakuen juga memberikan pelayanan langsung kepada lansia di lingkungannya (Nishikasai), dengan sistem lokal yang telah dibentuk, maka pelayanan terhadap lansia di sekitarnya dapat dikontrol dan ditangani bersama. Pelayanan tidak melulu menjadi tanggung jawab Nagisa Warakuen, tapi juga peran aktif dari masyarakat untuk dapat memberikan pelayanan terbaik bagi lansia.
Seperti halnya dalam kunjungan observasi kami awal bulan ini, sekitar 15 lansia dari masyarakat sekitar sedang mengikuti kegiatan di dalam ruangan. Mereka adalah warga sekitar yang telah didaftarkan sebelumnya. Dan tentu saja, dengan fasilitas pelayanan yang diberikan oleh Nagisa Warakuen, mereka dapat lebih happy dan berusaha terus menikmati masa tua dengan suka cita.
Jadi, selain memberikan pelayanan langsung kepada mereka yang membayar rutin, Nagisa Warakuen juga tidak lepas memperhatikan para lansia di sekitarnya.
—
Demikian sedikit share yang bisa saya bagikan. Semoga bermanfaat.
Salam hangat dan semangat selalu dalam dekapan ukhuwwah.
Kokuryo, Chofu Shi – Tokyo, JAPAN
Rabu, 28 Ramadhan 1436 H/15 Juli 2015 pukul 04.45 waktu Jepang
Dipublikasikan otomatis secara terjadwal oleh WordPress pada hari Kamis, 16 Juli 2015 pukul 09.00 waktu Jepang
Pelayanan publik di sana nomor wahid yah, orang dengan status yang terpinggirkan serius diperhatikan pemerintah.
Yups.. Pemerintah Jepang telah memiliki sistem pelayanan sosial yang mapan, dan ketersediaan dana sosial dari masyarakat yang sangat jarang sekali dikorupsi oleh pejabatnya.