Ikhwanul Muslimin dan Masa Awal Kemerdekaan RI*

Ikhwanul Muslimin dan Masa Awal Kemerdekaan RI*
*Oleh Muhammad Joe Sekigawa, A Social Worker, Seorang Pembelajar Sepanjang Zaman
Sebuah catatan ringkas ini saya catut dari tulisan Ahmad Rofi’ Syamsuri, MA yang berjudul “Gerakan Dakwah Ikhwanul Muslimin dan Dakwah di Indonesia” di Jurnal El Hikmah, Volume I/No.2/Mei 2009/Jumadil Awal 1430 Hijriah. Satu catatan penting yang ingin saya bagikan ini adalah betapa bangsa kita juga pernah memiliki spirit jihad yang hanya tak sebatas “semangat”, namun diwujudkan dalam sebuah aksi nyata, yakni pada pertempuran November 1945 antara rakyat Surabaya melawan penjajah Inggris kala itu.
Tanpa menafikkan bentuk perjuangan lainnya di wilayah lain di seluruh wilayah Indonesia, berikut cuplikan ringkasnya. Semoga bermanfaat dan menambah gairah para pejuang dakwah fii sabillah. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar..!!
—
Pada pertengahan malam di bulan Juli 1945 sejumlah mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Mesir memimpin rapat 40-an orang kelasi kapal berkebangsaan Indonesia yang bekerja di berbagai kapal asing yang sedang merapat di Iskandariyah, Port Said, dan Suez. Muhammad Zein Hasan, seorang mahasiswa Indonesia yang hadir, menyerukan kepada para kelasi untuk menabung dengan alasan perjuangan kemerdekaan Indonesia akan segera mencapai puncaknya. Karena itu, ketika jihad fii sabilillah terjadi, mereka dapat meninggalkan kapal-kapal sekutu.
Pertemuan itu ditutup dengan pengambilan sumpah setia terhadap perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan kolonialisme. Sumpah setia para kelasi ini dibuktikan dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Soekarno-Hatta. Dua orang kelasi Indonesia tiba di Kairo, Mesir, setelah berjalan selama dua hari dari Tunisia. Mereka membawa kabar bahwa telah turun fatwa yang dibawa teman-teman dari Indonesia bahwa haram hukumnya bekerja dengan orang kafir yang memerangi kaum muslimin.
Sekutu berusaha memblock-out berita tentang kemerdekaan Indonesia sampai ke Timur Tengah. Namun, di awal September 1945, sebulan setelah Proklamasi dibacakan, Mansur Abu Makarim, seorang informan Indonesia yang bekerja di Kedutaan Belanda di Kairo, membaca berita kemerdekaan Indonesia dari Majalah Vrij Nederland. Berita ini segera menyebar. Koran dan radio Mesir memuat berita itu. Para penyiar radio menyebut kemerdekaan Indonesia sebagai awal kebangkitan Dunia Islam dalam melawan penjajah Barat (Hassan, 1980: 49).
Ikhwanul Muslimin segera menggelar munasharah (demonstrasi) besar-besaran untuk mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Berita kemerdekaan Indonesia juga dipakai oleh Ikhwanul Muslimin untuk menekan Inggris yang tengah menjajah Mesir (Al Banna, 2005: 152). Sejumlah ulama Mesir dan Dunia Arab lainnya berinisiatif membentuk Panitia Pembela Indonesia (Lajnatud Difa’i an Indonesia). Lembaga ini dideklarasikan pada tanggal 16 Oktober 1945 di Gedung Pusat Perhimpunan Pemuda Islam. Pemimpin pertemuan itu Jenderal Saleh Harb Pasya. Hasan Al-Banna hadir bersama Profesor Taufik Syawi mewakili Ikhwanul Muslimin. Hadir juga Pemimpin Palestina Muhammad Ali Taher dan Sekretaris Jenderal Liga Arab Dr. Shalahuddin Pasya (Hassan, 1980: 63).
Kesempatan itu dipakai oleh Dr. Salahuddin Pasya untuk menyerukan agar negara-negara Islam untuk segera menyatakan dukungannya, membantu, dan mengakui Kemerdekaan Indonesia. Para tokoh yang hadir di pertemuan itu juga mencapai kesepakatan untuk memboikot kapal-kapal Belanda yang singgah di Terusan Suez. Kesepakatan itu disambut rakyat Mesir. Para buruh pelabuhan mengibarkan bendera Merah Putih di kapal-kapal tempat mereka bekerja.
Panitia Pembela Indonesia juga membuat pernyataan yang mengancam Inggris agar tidak membantu Belanda kembali ke Indonesia. Namun Inggris tetap membantu Belanda dengan memberi boncengan tentara NICA masuk ke Indonesia.
Pada tanggal 25 Oktober 1945 sejumlah ulama NU dipimpin KH Wahid Hasyim mengadakan pertemuan dan menghasilkan fatwa jihad fii sabilillah melawan penjajah. Fatwa ini disambut rakyat Surabaya sehingga pecah peristiwa pertempuran 10 November 1945. Bung Tomo melalui corong radio perlawanan (yang kemudian hari menjadi RRI) memompa semangat jihad rakyat Surabaya bahwa gerbang surga telah terbuka luas bagi mereka untuk mati syahid.
Kabar tentang pertempuran Surabaya yang heroik itu sampai ke Dunia Arab. Keberanian rakyat Surabaya melawan tentara sekutu pemenang Perang Dunia II dan berhasil menewaskan Jenderal Malaby, dimaknai oleh kaum Muslimin Timur Tengah sebagai bagian dari kemenangan Islam atas kaum kafir. Hal ini memicu perlawanan rakyat Mesir atas penjajahan Inggris. Di berbagai tanah lapang dan masjid di kota-kota penting Timur Tengah seperti Kairo di Mesir, Mekkah di Saudi, Baghdad di Irak, rakyat dunia Islam melaksanakan shalat ghaib untuk para syuhada yang gugur di Surabaya. Majalah TIME (25 Januari 1946) melihat fenomena ini menulis: “Kebangkitan Islam di negeri Muslim terbesar di dunia seperti di Indonesia akan menginspirasi negeri-negeri Islam lainnya untuk membebaskan dir dari Eropa”.
Dukungan negara-negara Islam di Timur Tengah terhadap Indonesia tidak hanya datang dari level rakyat, tapi juga di tingkat diplomasi. Dalam sidang-sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa terlihat jelas sikap itu, sementara negara –negara Eropa masih memandang Indonesia masih bagian Belanda. Tim diplomasi Indonesia diperbolehkan hadir di persidangan PBB setelah wakil negara-negara Arab mengakui kemerdekaan Indonesia.
Sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin secara terus menerus menggalang opini publik melalui pemberitaan media. Ikhwanul Muslimin juga memberi kesempatan yang luas kepada mahasiswa Indonesia untuk menulis tentang kemerdekaan Indonesia di media-media yang mereka miliki, berbicara di acara tabligh akbar dan demonstrasi yang mereka selenggarakan (Hassan, 1980: 275). Para pemuda dan pelajar Mesir serta kepanduan Ikhwanul Muslimin berkali-kali berdemonstrasi di depan Kedutaan Belanda di Kairo. Tekanan yang luar biasa itu membuat Kedutaan Belanda mencopot lambang negara dan menurunkan bendera mereka.
Kuatnya dukungan rakyat Mesir atas kemerdekaan Indonesia dan intensifnya lobi pemimpin-pemimpin Ikhwanul Muslimin membuat pemerintah Mesir mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal 22 Maret 1946. Inilah pengakuan pertama dunia atas eksistensi negara Indonesia dan secara hukum Internasional cukup menjadi syarat bagi Indonesia sebagai negara berdaulat. Pemerintah Mesir tidak hanya memberi pengakuan, tetapi juga memberi bantuan lunak. Sikap Mesir itu membuat negara-negara Timur Tengah melakukan yang sama.
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947, para mahasiswa Indonesia di Mesir dan aktivis Ikhwanul Muslimin menggalang aksi boikot terhadap kapal-kapal Belanda yang memasuki Terusan Suez. Pada tanggal 9 Agustus 1947 rombongan kapal Belanda tiba di Port Said. Ribuan buruh yang juga kader Ikhwanul Muslimin berkumpul di pelabuhan utara Kota Ismailiyah. Mereka membawa motor boat dan kapal-kapal kecil yang dipasangi Merah-Putih menghalangi kapal-kapal asing yang mensuplai air minum dan makanan ke kapal-kapal Belanda (Hassan, 1980: 234).
Pada tanggal 7 April 1947 Presiden Soekarno mengirim delegasi resmi ke Mesir untuk mengucapkan rasa terima kasih. Rombongan delegasi Indonesia yang dipimpin Haji Agus Salim tiba di Kairo. Rombongan terdiri dari Haji Agus Salim, Sultan Syahrir, Mr. Nazir Pamoentjak, Dr. H.M. Rasyidi, dan M. Sein Hassan bertemu dengan Hasan Al-Banna dan sejumlah pemimpin Ikhwanul Muslimin. (Hassan, 1980: 197).
—
Dengan cuplikan tulisan di atas, ada beberapa kesimpulan singkat yang dapat saya bagikan kepada para pembaca sekalian, diantaranya sebagai berikut:
- Masyarakat Indonesia begitu menghargai dan dengan penuh kesadaran bersemangat untuk melaksanakan Fatwa Ulama;
- Indonesia sejak awal kemerdekaan telah diharapkan oleh banyak umat muslim sebagai penanda kebangkitan dunia Islam;
- Ikhwanul Muslimin telah terbiasa melakukan aksi Munasharah (kepedulian dengan menggelar aksi di jalan untuk menarik simpati masyarakat luas dan dunia internasional), khususnya untuk Indonesia di awal masa kemerdekaan;
- Terdapat lembaga yang menyatakan membela kemerdekaan Indonesia adalah sebuah kepedulian yang luar biasa dari saudara-saudara muslim kita di luar negeri;
- Fatwa Jihad dikeluarkan oleh kesepakatan sejumlah Ulama Besar NU Jawa Timur untuk melawan Penjajah Inggris, dan pemuda Surabaya menyambut dengan begitu luar biasa;
- Dukungan yang dilakukan untuk Indonesia oleh Mesir dan beberapa negeri Timur Tengah tidak hanya sekedar Pencitraan semata tapi secara konsisten;
- Berkat lobi-lobi Ikhwanul Muslimin sehingga Pemerintah Mesir sebagai Negara pertama yang memberikan pengakuan bahwa Indonesia sebagai negara Merdeka.
Salam hangat dan semangat selalu dalam dekapan ukhuwwah
Camp PT SRL Pulau Pinang-Kembang Janggut, Kabupaten Kutai Kartanegara – Kalimantan Timur
Senin ba’da Maghrib, 28 Dzulqo’dah 1435 H/22 September 2014 pukul 18.15wita
Dipublikasikan otomatis secara terjadwal oleh WordPress pada hari Jum’at, 11 Oktober 2014 pukul 08.00wita
Comments
2 Responses to “Ikhwanul Muslimin dan Masa Awal Kemerdekaan RI*”Trackbacks
Check out what others are saying...-
[…] Source: Ikhwanul Muslimin dan Masa Awal Kemerdekaan RI* […]
Reblogged this on KAMMI STKS BANDUNG.