Seperti Keluarga Sendiri*

Sumber Gambar: Koleksi pribadi

Sumber Gambar: Koleksi pribadi

Seperti Keluarga Sendiri*

*Oleh Joko Setiawan, A Social Worker, Seorang Pembelajar Sepanjang Zaman

Sebenarnya, pada awalnya saya adalah orang yang sangat pemalu. Saya tidak bisa “cair” dengan orang baru yang tanpa ada “kepentingan” sebelumnya. “Kepentingan” yang saya maksud ini bisa berupa tugas bersama, satu naungan organisasi, tim kerja, kawan diskusi dan semacamnya. Nah, ketika ada “alasan” untuk berinteraksi, maka saya akan mudah bergaul dan berkomunikasi hingga tercipta suasana harmonis serta saling bekerja sama. Tapi sebaliknya, jika tak ada “alasan” dan harus membuat-buat alasan sendiri (SKSD misalnya), saya adalah orang yang paling tidak bisa melakukan hal tersebut, meski tujuannya adalah untuk menjalin relasi pertemanan..

Berbekal pengalaman dan kesenangan untuk menjadi seorang blogger, menjadikanku lebih mudah dikenal dan berkenalan dengan seseorang kemudian menciptakan suasana kekeluargaan yang erat. Orang dapat mengenali sosok pribadi dan aktivitasku melalui tulisan-tulisan yang secara rutin saya tampilkan di Blog Bocahbancar. Dan dari sinilah banyak relasi yang terbangun, menembus batas-batas geografi dan meski belum pernah bertemu secara fisik sekalipun..

Berkah dunia tulis menulis salah satunya adalah ada seorang dosen dari kampus Muhammadiyah Malang yang saat ini bekerja di IOM (International Organization for Migration) Makassar, Sulsel yang menghadiahi saya sebuah Laptop baru, fresh from the open, ASUS X44C. Laptop ini pulalah yang menemani hari-hari saya untuk semakin produktif dalam membuat tulisan-tulisan, meski sampai hari ini belum sekalipun dimuat di surat kabar cetak he he..

Kemudian, dari tulisan pula, saya mendapatkan seorang ibu angkat, yang merupakan seorang pekerja sosial PSKW (Panti Sosial Karya Wanita) Pasar Rebo, Jakarta Timur. Komunikasi saya bangun dengan sebegitu hangatnya, namun di beberapa sesi pertemuan saat saya bersilaturahim ke rumah beliau, ternyata ada maksud lain terhadap diri saya, yakni mengharapkan saya untuk menjadi menantunya. Oh no, ini diluar ekspektasi, dan saya tidak siap untuk hal tersebut. Karena saya telah jauh merantau ke Kalimantan, komunikasi pun lambat laun saya kurangi, dan hanya mengirim kabar melalui sms/telfon pada hari Raya atau hari besar lainnya..

Pengalaman-pengalaman tersebut menjadikan saya terbiasa berbicara dengan kalangan mana saja, asalkan ada urusannya, saya tidak akan canggung. Saya sudah pernah mengikuti International Seminar beberapa kali dan menggali informasi dari beberapa narasumbernya, acara yang digelar UNESCO sekali dengan menghadirkan 15 negara di Asia dan Eropa, dengan Tenaga Ahli Menteri Sosial RI, pejabat tinggi kampus STKS Bandung dan lain sebagainya. Tidak ada rasa canggung, tapi sekali lagi, asalkan ada alasan dan urusannya he he..

Itulah alasan mengapa pada saat jumpa pertama kali di sesi ta’aruf, tak ada rasa canggung ataupun tegang. Insya Allah semua rasa kekhawatiran dapat saya atasi. Apalagi, sesi ini memang jelas tujuannya, untuk menjemput sunnah Rasulullah sebagai penggenapan separuh agama. Alhamdulillah, komunikasi pada sesi ta’aruf berjalan lancar, dan perbincangan telah cair hingga sesekali diselingi canda dan tawa..

Pada waktu-waktu berikutnya, saya sengaja untuk lebih intens berkomunikasi dengan sang Ayah untuk lebih mendapatkan kepercayaan, dan beliau pun lebih bisa mengenal saya secara lebih jauh dan dalam. Saya sengaja membuka diri tanpa sekat agar memang hubungan yang dibangun tanpa ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Saya memang niat menikah dengan segala keterbatasan, maka jika keterbatasan tersebut menjadi penghalang, maka saya pun siap untuk mundur teratur karena saya begitu yakin bahwa jodoh tidak akan pernah tertukar, tentu setelah berupaya mencari solusi jalan keluar sekuat tenaga..

Bersyukur kepada Allah, karena segala hal yang saya rasa khawatirkan menjadi penghalang, tidak ada keberatan sedikit pun bagi keluarga sang Akhwat. Maka, langkah selanjutnya adalah dengan membangun komunikasi yang konstruktif terhadap Sang Ibundanya. Sang Ibu biasanya akan lebih mudah terbuka dan lebih mampu menyampaikan kegembiraan ataupun kekurangsenangan terhadap proses yang tengah berjalan. Dan ternyata benar apa yang saya duga, bahkan Sang Ibu begitu cepat mencairkan suasana dengan beberapa gurauan dan saya pun dapat menanggapi sesuai denga koridornya..

Maka, dari Ayah dan Ibunda sang Akhwat lah saya meneruskan dari satu proses ke proses berikutnya. Sejak ta’aruf berlanjut dengan keputusan bersama untuk berbicara teknis khitbah, saya telah berusaha semaksimal mungkin menyatukan cara pandang dan pemikiran terhadap keluarga sang Akhwat. Dengan demikian, saya telah menganggap mereka sebagai keluarga sendiri. Kedekatan yang terbangun juga merupakan kedekatan antara anak dan orang tua sebagaimana keluarga kandung sendiri..

Cover 18 Mar 2014 - CopyDan, insya Allah. Kedekatan antar keluarga ini tidak akan timpang atau berat sebelah. Keluargaku adalah keluargamu, dan keluargamu adalah keluargaku juga. Kawinkan segala kelebihan untuk menutupi segala kekurangan, serta maksimalkan untuk kontrbusi dalam dakwah fi sabilillah..

Salam hangat dan semangat selalu dalam dekapan ukhuwwah

Kembang Janggut Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur
Sabtu sore, 09 Rabiul Awal 1435 H/11 Januari 2014 pukul 17.34 wita

Dipublikasikan otomatis secara terjadwal oleh WordPress pada hari Senin, 21 Juli 2014 pukul 08.00wita

Keterangan: Artikel ini termasuk rangkaian cuplikan narasi dalam Buku “Kado Cinta 4 Isteri Sholihah” yang dihadiahkan sebagai mahar kepada Sang Isteri Tercinta [Iis Syarifah Latif] yang kami telah melaksanakan akad nikah pada tanggal 30 Mei 2014.

Tinggalkan Jejak ^_^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: