“Ngrasani” Kehidupan Kampus di STKS Bandung*

“Ngrasani” Kehidupan Kampus di STKS Bandung*
*Oleh Joko Setiawan, A Social Worker, Seorang Pembelajar Sepanjang Zaman
Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung atau yang lebih lazim dikenal dengan sebutan STKS Bandung merupakan satu-satunya kampus Peguruan Tinggi Kedinasan (PTK) di bawah Kementerian Sosial RI. Sejarah berdirinya yang dimulai semenjak tahun 1957 silam menjadikan kampus ini telah melahirkan ribuan Pekerja Sosial profesional yang bekerja untuk membantu anggota masyarakat baik individu, keluarga, maupun kelompok yang termarjinalkan.
Saya sendiri, perkenalkan, nama saya Joko Setiawan, asal dari Kota Bojonegoro Jawa Timur. Saya lebih senang menyebut Kota Bojonegoro, meskipun kedua orang tua dan saya sendiri lahir di sebuah desa di wilayah Kabupaten Tuban. Bahkan kedua orang tua saya pun masih ada di sana, desa Bogorejo kecamatan Bancar kabupaten Tuban Jawa Timur. Ya, secara historis saya hanya tinggal di wilayah Kabupaten Tuban (di desa) sejak lahir hingga kelas VI SD saja. Masa puber (SMP) dan remaja (SMK) saya habiskan di Kota Bojonegoro. Oleh karena itu, ikatan pertemanan dengan kawan-kawan dan tempat tinggal lebih senang menyebut diri berasal dari Kota Bojonegoro ketika sudah dirantau orang seperti sekarang ini.
Tiba di STKS Bandung sejak Agustus 2008 silam yang sebelumnya menjadi ‘kuli’ Pabrik PT. Astra Daihatsu Motor (ADM) dan menetap di Jakarta Utara kurang lebih 10 bulan lamanya. Benar, STKS Bandung yang pada mulanya asing, menjadi kampus yang banyak menjadikan saya kuat dan banyak berkarya. Meski bukanlah karya hebat, tapi paling tidak di sinilah saya ditempa menjadi pribadi yang ‘matang’ dalam berorganisasi dan juga dakwah.
TREN MAHASISWA
Kampus STKS Bandung bukanlah suatu kampus yang besar, ia tak mampu mendidik ribuan mahasiswa per tahun, bahkan 500 pun tak sanggup ditampungnya. Tahun 2008 mahasiswa barunya hanya berjumlah sekitar 240 orang saja, di tahun 2009 jumlah mahasiswa baru meningkat menjadi sekitar 320 orang, pada tahun 2010 jumlahnya bertambah lagi menjadi sekitar 380 mahasiswa, kemudian di tahun 2011 jumlah itu bertambah banyak lagi hingga sekitar 430 orang mahasiswa. Barulah di tahun 2012 ini, jumlah mahasiswa baru yang diterima sejumlah 336 orang. Sedikit mengalami penurunan jumlah mahasiswa yang diterima dari titik puncak pada tahun 2011 lalu.
Melihat tren jumlah mahasiswa baru di STKS Bandung yang cenderung meningkat tersebut, setidaknya dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya:
- Adanya efek dari Memorandum of Understanding (MoU) antara pihak lembaga STKS Bandung dengan pemerintah-pemerintah provinsi/kabupaten tertentu guna menyelenggarakan Ikatan Dinas (ID) daerah. Hal ini sangat menyedot perhatian para orang tua maupun calon mahasiswa itu sendiri untuk mengejar status Ikatan Dinas yang notabene nantinya akan menjadi pegawai negeri alias PNS.
- Biaya pendidikan di STKS Bandung yang lebih terjangkau daripada di kampus-kampus lain. Bisa dibayangkan betapa ‘murah’nya biaya pendidikan di kampus ini. Hanya 600 ribu per semesternya, yang saat ini telah mengalami peningkatan menjadi 1 juta pada setiap semesternya. Biaya tersebut setara dengan biaya di kampus-kampus negeri yang mendapatkan subsidi (jalur SNMPTN).
- Ikatan emosional dari orang tua yang merupakan alumni STKS Bandung ataupun yang sekarang posisinya bekerja di Dinas Sosial setempat atau Kementerian Sosial RI, menjadikan mereka merekomendasikan anaknya untuk belajar ilmu yang serupa dengan mereka.
Banyaknya jumlah mahasiswa yang belajar di STKS Bandung tidak serta merta menjadikan kampus ini lebih ‘mentereng’ dari sebelumnya. Bahkan justru sebaliknya, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) pada akhir tahun 2011 lalu menyematkan Akreditasi ‘B’ untuk STKS Bandung setelah sebelumnya menyandang status Akreditasi ‘A’. Proses akreditasi ini katanya sudah dimulai sejak tahun 2008 silam. Kenapa kok bisa turun? Wallahu a’lam bisshowab.
Akreditasi memang menyangkut banyak hal, mulai dari penyediaan fasilitas pendidikan, dosen yang mumpuni, prestasi kampus, hingga tentu saja terkait kualitas mahasiswa di STKS Bandung itu sendiri. Saya sendiri akan menyoroti berhubungan dengan kualitas mahasiswanya saja. Terdapat beberapa catatan kritis berkenaan dengan status mahasiswa yang telah didiskusikan oleh kawan-kawan mahasiswa STKS Bandung di forum Scientific Social Work Discussion (SSWD) edisi 21 Oktober 2011 yang lalu sebagai berikut:
- Lapisan pertama, mahasiswa apatis. Yakni mereka yang acuh pada keadaan kampus, entah kampus mau berkembang, mundur atau tetap dia tidak mau peduli. Kuliah hanya sebatas mengisi absen, dan pulang. Jangankan prestasi di kelas, untuk permasalahan tugas pun mereka hanya sekedar absen. Aneh? Tapi inilah keadaannya;
- Lapisan kedua, mahasiswa hanif. Ya, merekalah orang-orang yang memiliki kepedulian pada lingkungan, mereka yang tidak mudah puas dengan keadaan. Mereka ada kepedulian pada lingkungan akan bisa dipastikan kalau sebelumnya mereka juga memiliki kepedulian pada diri sendiri. Mereka memikirkan dengan pasti apa tugas-tugas di bangku kuliah, mau menyibukkan diri dengan aktivitas tambahan yang positif dan lain sebagainya; dan terakhir
- Lapisan ketiga, mahasiswa bimbang. Yakni mereka yang ikut-ikutan kawula yang banyak aja. Di mana kebanyakan orang melakukan di sana pula dia juga akan ikut melakukan. Canggih!!! ^_^ Bagaimana tidak? Mereka akan terombang-ambing pada keadaan karena sama sekali tidak punya pendirian.
Masih tentang mahasiswa, capaian-capaian Indeks Prestasi (IP) yang ‘cukup mudah’ pun mendorong mereka untuk lebih berleha-leha daripada berupaya dengan keras untuk meraih prestasi gemilang tersebut. Jangan kaget, jika Anda bersilaturahim dengan para mahasiswa STKS Bandung, mayoritas mereka mendapatkan IP di atas 3,50. Bahkan IP excellent yakni bernilai 4,0 pun sudah biasa digapai. Namun, apakah mereka itu orang-orang yang jenius? Menurut pengalaman pergaulan saya dengan mereka, tidak demikian adanya. Saya yang biasa-biasa saja pun bisa mendapatkan IP di atas 3,90. Apakah merasa bangga? Pada sedikit hal ‘iya’, tapi lebih banyak tidak bangganya.
Kondisi tersebut menjadikan mahasiswa minim ghirah bersaing dengan mahasiswa kampus lain. Padahal, yang belajar Ilmu Pekerjaan Sosial tidak hanya STKS Bandung saja. Masih ada Universitas Indonesia di Jakarta, Universitas Padjajaran di Bandung, Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, Universitas Jember di Jawa Timur, hingga Universitas Cenderawasih di Papua. Alhasil, kita pun tak pernah tahu bagaimana takaran kualitas yang sesungguhnya tentang penguasaan ilmu Pekerjaan Sosial ini, istilah lainnya ‘jago kandang’ saja.
Namun demikian, tak semuanya ‘buruk’ di mata saya. Banyak pula gapaian-gapaian positif atas kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa. Selain Unit-unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang masih saja eksis, juga kegiatan mahasiswa dengan lingkungan eksternal, yakni pada Forum Mahasiswa Kedinasan Indonesia (FMKI) dan juga di Forum Komunikasi Mahasiswa Kesejahteraan Sosial Indonesia (FORKOMKASI). Saya sendiri pernah aktif di keduanya, dan bahkan saat ini masih diamanahi sebagai Staf Ahli Bidang Relasi Publik di FORKOMKASI untuk masa bakti 2012 sampai dengan 2013 nanti. Tak hanya itu, Rendiansyah Putra Dinata dari angkatan 2010 juga memegang amanah yang tak kalah pentingnya di FMKI, yakni sebagai Koordinator Bidang Kesejahteraan Sosial yang masih menjabat hingga akhir bulan Agustus 2012 ini.
REALITA MASJID DAN DAKWAH
Sudah menjadi hal yang lumrah di manapun juga bahwa setiap mereka yang hanif dalam agamanya akan senantiasa cinta kepada masjid, senang sholat berjamaah dan merasa gembira ketika mengikuti kajian-kajian yang sifatnya menambah ilmu tentang agama. Begitu pula di kampus ini, mereka yang baik pada mulanya akan senang berinteraksi dengan masjid dengan segala aktivitasnya.
Tahun 2008 masih saya temui mereka-mereka yang lembut dalam penyampaian misi dakwahnya, sebut saja Kang Dedeng -angkatan 2006- (alumni STKS Bandung tahun 2011 yang menjadi penulis buku dengan nama pena Jauhar al Zanki) dengan tampilan sederhana namun ‘mantap’ ilmu agamanya. Ada pula Pak Slamet -tinggal di DKM masjid- yang lebih sering tampil mengayomi (memberikan penjelasan dan pengertian) bagi kami yang awam terhadap aturan-aturan agama. Pak Safar yang waktu itu duduk di Sp-1 (kelas pascasarjana di STKS Bandung) dengan semangat dakwahnya yang cukup tinggi namun tetap lemah lembut.
Selain itu saya kenal juga Mas Agus Ni’amilah, Mas Huda, Kang Jaeni, Kang Imad, Kang Bule dan Mas Agil. Di keakhwatan saya juga kenal Teh Nia Saniyah, Chitalia KP, dan beberapa akhwat lain. Ada juga tokoh-tokoh satu angkatan dengan saya -tahun 2008- yang akan saya sebutkan di cerita-cerita selanjutnya. Mereka semua, waktu itu -tahun 2008- saya kenal sebagai para aktivis dakwah di STKS Bandung. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, barulah saya ketahui bahwa aktivis dakwah juga terpolarisasi menjadi beberapa bagian/ kelompok/ jama’ah.
Salam hangat dan semangat selalu dalam dekapan ukhuwwah
Selesai ditulis pada hari Senin malam, 30 Juli 2012 pukul 21.01wib @kamar kostan, Dago Pojok Bandung-Jawa Barat
NB: Ini merupakan tulisan yang saya buat di tengah tahun 2012 silam, dan lanjutannya masih cukup panjang. Saya susun sebagai laporan asesmen atas kehidupan mahasiswa di Kampus STKS Bandung dan dinamika peranan dakwah dari berbagai pihak.
Disusun dan dirapikan ulang pada Kamis, 27 Februari 2014 @Camp PT. Silva Rimba Lestari Distrik Kembang Janggut Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kaltim.
Dipublikasikan otomatis secara terjadwal oleh WordPress pada hari Selasa, 01 April 2014 pukul 08.00wita
Reblogged this on KAMMI STKS BANDUNG.
IP diatas 3.90… Subhanallah, saya bisa lepas dari 2.75 lebih sedikit saja sudah beruntung 😀
He he he, kalau di STKS Bandung memang IP tinggi itu biasa mas, soalnya ilmu sosial 😉
Itu dia, ngiri juga kalau liat ijazah sebelah (istri) yang lebih dari saya… 😀
Hohoho…. untuk S2 atau S3 nya, sampeyan yang harus lebih baik dari sang isteri mas he he
Untuk S1 nya, S2 mah insyaallah akan terus belajar mengungguli si bunda… Hahaha
Sipphhh ^^b