Story 002 Pindah Sekolah ke Kota Bojonegoro

Pindah Sekolah ke Kota Bojonegoro
Mbak Eni menikah dengan orang Bojonegoro. Aku pun dijanjikan untuk bisa bersekolah di Kota Bojonegoro saat kelas dua SMP nanti. Namun karena aku mengetahui bahwa nilai NEM-ku bagus, dan rasanya memang ada semangat di dalam diri ini untuk bisa merasakan pengalaman baru, maka aku pun agak “memaksa” izin dari Ma’e agar menyampaikan keinginan ke Mbak Eni supaya bisa sekolah SMP di Bojonegoro. Singkat cerita, Mbak Eni pun menyetujui, dan berangkatlah diriku hijrah ke Kota Bojonegoro, meski diiringi dengan tangis tidak tega dari Ma’e.
Pola pendidikan di sini (khususnya Mas Chanif, suami Mbak Eni) cukup berbeda dengan pola pendidikan yang diterapkan orang tua di kampung. Bebas dan Mandiri, dua kata inilah yang pada akhirnya bisa saya simpulkan dari pola pendidikan mereka. Aku diberikan kebebasan yang cukup luas, namun juga di satu sisi dituntut untuk bisa bersikap mandiri, tidak manja.
Benarlah adanya sikap tersebut, belum tahu apa-apa, aku sudah disuruh pergi mendaftar sekolah sendiri ke SMP terfavorit di Kota Bojonegoro itu. Aku pun mengayuh sepeda untuk mendaftar sendiri ke SMPN 1 Bojonegoro, tanpa mengenal siapapun, tanpa ditemani seorang pun. Rasanya, dengan mental anak kampung, harusnya aku tak mampu melakukannya. Namun Alhamdulillah, pola pengasuhan dan pendidikan seperti ini menjadikanku pria yang tangguh, meski sifat pemalu masih melekat erat di dalam diri.
Setelah melewati beberapa prosesnya, aku pun dinyatakan diterima sebagai salah satu siswa SMP paling bergengsi di kota ini. Anak kampung yang mampu menembus sekolah favorit di Kota Ledre, dan perjuanganpun baru dimulai.
Mengingat sekolah ini merupakan sekolah unggulan, maka mau tidak mau, semangat untuk berkompetisi di bidang prestasi akademik pun terasah. Aku yang telah terbiasa di masa SD untuk percaya dengan kemampuan sendiri (sangat anti mencontek) merasa tidak terbebani dengan kompetisi ala orang kota. Bahkan di akhir caturwulan ketiga di kelas I SMP, aku sempat mendapatkan juara III di kelas I-A SMPN 1 Bojonegoro (tahun 2002).
Kemandirian lain yang ditanamkan oleh Mas Chanif kepadaku adalah tentang kewajiban untuk mencuci piring makan, baju, juga setrika barang-barang pribadiku. Awalnya cukup jengkel ketika Mbak Eni yang notabene kakakku sendiri bisa hidup enak (serba terlayani), tapi aku yang masih berumur sekecil itu sudah dibebani dengan nyuci dan nyetrika (yang tentu saja ketika SD tidak pernah aku lakukan).
Tidak cukup sampai di situ, bahkan aku mulai diminta untuk membantu di rumah makan yang buka mulai pukul 17.00 sampai dengan 22.00wib. Namun, karena aku harus sekolah di keesokan harinya, maka diwajibkan hanya sampai pukul 20.00wib saja. Dari sinilah hikmah kedewasaan itu terbuka. Aku bertemu dengan orang-orang yang cukup dewasa dalam memaknai kehidupan. Aku pun belajar banyak, dan pada akhirnya mengerti maksud atau output yang ingin dicapai Mas Chanif atas pola pendidikan yang diterapkannya kepadaku tersebut. Masa bekerja di rumah makan dan restaurant ini berlangsung hingga aku menginjak kelas II SMK. Waktu itu Mas Chanif meninggal dunia dan kondisi usahanya berantakan. Hal ini pulalah yang mengakibatkan aku harus berpikir keras darimana nantinya biaya kuliah setelah lulus SMK?
Masa SMP kulalui dengan penuh semangat dan suka ria. Kawan-kawan baru, pengalaman baru, aktivitas baru, dan masih banyak hal-hal baru lainnya yang tak kutemui di kampung telah kudapatkan di sini. Satu-satunya kekurangan pola pendidikan Mas Chanif di sini adalah tidak mencarikanku guru ngaji. Aku pun sebatas melaksanakan ibadah ritual (sholat dan puasa), tanpa mengerti betul esensi maknanya.
Di SMP ini, aku hanya mengikuti satu kegiatan ekstrakulikuler, yakni PMR (Palang Merah Remaja). Dari sini, malah termunculkan benih-benih cinta monyet ala siswa SMP kelas I. Selain, memang ada hal positif terkait pengembangan diri yang kudapatkan dari PMR ini, yakni terpilihnya diriku sebagai salah satu dari tiga kandidat terkuat yang dicalonkan sebagai Ketua PMR periode 2002-2003. Modal kepemimpinan mulai terasah di sini, meskipun masih saja, sifat pemaluku tak bisa hilang, bahkan sebagian besar pengurus PMR kala itu banyak yang tak kukenal, khususnya para pengurus perempuannya.
Kembali kepada cinta monyet yang telah kusebutkan di awal. Ia memang rupawan, bisa dibilang cantik jelita, dan dari rona mukanya, sepertinya ada keturunan china. Bukan aku yang agresif waktu itu, namun ia yang memang supel. Bahkan kakak tingkat yang duduk di kelas III SMP waktu itu sempat mendatangi ke kelasku dan mengancam agar aku tak lagi berhubungan (padahal hanya sekedar ngobrol) dengan anak perempuan itu. MasyaAllah, kalau teringat masa ini, rasanya ingin terus tersenyum lebar, masa kelas I SMP, sudah diuji dengan persoalan cinta monyet seperti ini. Akhirnya, aku pun mengambil langkah mundur teratur dan mulai mengurangi intensitas interaksi dengan anak perempuan itu. Meski, di dalam hati kecil, ternyata tersimpan rasa mengaguminya juga (efek ngajinya tidak jelas he he).
Di SMPN 1 Bojonegoro ini pula, kutemui orang-orang baik dan inspiratif seperti Ahmad Wachidul Kohar, suara adzannya hampir-hampir membuat semua yang mendengarkan ingin meneteskan air mata. Ada Akbar Fahmi yang merupakan siswa paling cerdas di sekolah ini, namun begitu dekat dengan mushola dan sempat menjadi ketua OSIS. Ada juga Arif Rahman yang kecerdasannya begitu kentara, juga dekat dengan mushola. Kekagumanku kepada mereka, menjadikanku ikut-ikutan untuk mencintai mushola yang kala itu setiap jam istirahat digunakan untuk sholat dhuha dua rakaat dan dilanjutkan dengan taklim dari salah satu guru.
Terakhir, SMPN 1 Bojonegoro, mempertemukanku dengan satu sahabat dekat yang kesehariannya akan sering denganku, hingga memasuki sekolah SMK, kami menjadi semakin dekat, bahkan sempat membentuk genk kecil bernama AMAJE. Dialah, Eko Heri Prasetyo. Kebersamaanku bersamanya terhitung hampir tujuh tahun lamanya. Mulai dari tiga tahun SMP, tiga tahun SMK dan 10 bulan bekerja di PT. Astra Daihatsu Motor Jakarta Utara sampai dengan pertengahan tahun 2008.
*Kembang Janggut, 01 Juli 2013
**Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Dipublikasikan otomatis secara terjadwal oleh WordPress pada hari Kamis, 01 Agustus 2013 pukul 08.00wita.
NB: Artikel ini adalah edisi series dari The Story of Muhammad Joe Sekigawa. Diterbitkan secara berkala pada setiap hari Senin dan Kamis, sejak tanggal 29 Juli 2013. Jika tak ada halang merintang, akan disusun menjadi sebuah buku bagi koleksi pribadi ^_^