Story 001 Masa Kecil di Bancar
Masa Kecil di Bancar
Masa kecil adalah saat-saat membahagiakan dalam hidup. Masa kecil merupakan masa belajar banyak hal, tempat bermain sepuasnya, tak ada beban yang menggelayut di pikiran. Indah, meski ini adalah keindahan semu. Karena pada dasarnya orang hidup itu untuk berpikir, memilah mana yang baik dan yang buruk, memilih dari sekian banyak pilihan, dan tentu saja, menghadapi masalah sebagai konsekuensi dalam menjalani kehidupan, yang pasti akan selalu menghadang di masa depan.
Dari sinilah cerita akan bermula, tentang kisah kehidupan Sang Pembelajar Sepanjang Zaman. Lahir dan menjalani masa kecil penuh warna di dusun mungil bernamakan Bogoran Kecamatan Bancar Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Lahir di hari Jum’at, 27 Januari 1989 dibantu dengan dukun bayi. Kala itu, bidan masih belum populer di dusun tempat tinggalku. Buktinya pun masih bisa ditemui hingga hari ini. Pa’e menuliskannya di balik lemari baju dengan menggunakan kapur tulis berwarna putih.
Mungkin karena ditakdirkan lahir sebagai anak terakhir dari lima bersaudara, masa kecilku terkesan dimanja daripada Kak Cup dan Kak Ir. Mereka berdua adalah panggilan untuk dua kakak kandungku, selain ada lagi Mbak Eni dan juga Mas Hib.
Beragam permainan sewaktu kecil masih tergambar dalam redup-redup ingatan di masa silam, kira-kira 20 tahun yang lalu aku masih sering bermain layang-layang, gobak sodor, bentik, tali karet, wayangan, dakon, bola bekel, dan masih banyak lagi permainan lainnya. Aku, karena dilahirkan dan tumbuh dekat dengan sungai dan lautan, pengalaman tenggelam dan terbawa arus pun pernah teralami. Senyumku pun menyimpul ketika mengingat masa-masa itu semua.
Selain bermain, aku juga sudah terbiasa untuk ikut angon wedhus (menggembala kambing), ngarit (mencari rumput untuk hewan ternak) dan mek rambanan (mengambil daun pohon yang masih muda untuk makan kambing). Masa-masa ini kulalui dengan ceria, meski terkadang juga menunggu dimarahi orang tua dahulu baru mau berangkat, karena saking asyiknya bermain hingga lupa waktu.
Dalam hal pendidikan, aku tak seberuntung kawan-kawan yang lain. Bangku TK tak pernah kucicipi. Alhasil ketika masa SD diminta untuk menyanyi, aku pun menunggu apa yang dinyanyikan oleh teman-teman yang lain, baru kemudian kutiru untuk kunyanyikan ketika sesi “wajib nyanyi” diperintahkan oleh guru.
Prestasi sekolah tak pernah ditekankan oleh orang tua. Sepengetahuanku, orang tua lebih mementingkan bahwa anaknya bisa sekolah dan mengikuti pelajaran dengan baik. Namun, berbeda dengan kakak laki-laki tepat di atasku itu. Kak Cup secara alamiah memiliki semangat berkompetisi dalam bidang prestasi akademik. Di masa kecilnya (SD dan SMP, bahkan hingga awal masa SMA) Kak Cup memang sering sakit-sakitan. Sakit utamanya adalah terkena sesak nafas. Ma’e dan Pa’e sering dibuat sedih atas kondisinya Kak Cup tersebut. Aku yang masih berusia anak SD masih belum bisa merasakan apa itu arti kesedihan, maka keseharianku pun tetap ceria dan bahagia tanpa beban he he.
Nah, mungkin karena sebab itulah, Kak Cup merasa harus menjadi pintar dan bisa membanggakan kedua orang tua, juga teman-teman dan gurunya. Dari Kak Cup lah sedikit demi sedikit semangat belajarku juga meningkat. Pengalaman terlucu yang masih kuingat sampai sekarang adalah ketika musim ujian. Aku, Kak Cup dan Kak Ir diwajibkan Ma’e untuk bangun shubuh guna belajar persiapan ujian di pagi harinya. Kak Cup begitu serius menghafal, namun Kak Ir malah pura-pura membaca dan menghafal sembari mengenakan sarung, tapi malah tidur dengan posisi duduk. Ho ho ho ho. Teringat masa ini, aku pun selalu tertawa lebar sendiri. Sedang aku sendiri, karena mengagumi keseriusan Kak Cup, maka semangat belajarku pun bisa terjaga.
Masa-masa seperti yang terceritakan di atas hanya kurasakan ketika kelas I-IV SD, sedangkan Kak Cup dan Kak Ir kala itu tengah duduk di bangku SMP hingga SMA. Dan Alhamdulillah, karena kebersamaan waktu belajar saat menjelang ujian tersebut, nilai-nilai raporku pun terus meningkat dari waktu ke waktu. Mulai dari rangking 8 dari 13 murid, hingga pada akhirnya aku mampu menyabet nilai NEM ketiga tertinggi se kecamatan Bancar dengan nilai 42,10 dari lima mata pelajaran yang diujikan. Nilai tersebut adalah merupakan nilai murni tanpa mencontek satu nomor pun dari kawan.
Keseharian di masa kecil yang tak kalah menariknya adalah waktu-waktu mengaji di langgar (mushola) kampung. Pa’e adalah guru ngaji di kampungku sejak beliau masih muda (baru memperistri Ma’e, dan usianya baru menginjak 17 tahun) sampai pada akhirnya berhenti mengajar ngaji akibat adanya isu ninja yang menculik pada ustadz yang mengajar ngaji di kampung-kampung (sekitar tahun 1998-an). Ngajiku pun beralih ke Ustadz Bejo yang juga santrinya Pa’e dan telah lulus dari pondok pesantren di Rembang.
Namanya anak kecil, aku pun ngaji hanya sekedar ngaji saja. Bahkan bacaan tajwid pun belum fasih betul hingga lulus SD. Pasca SD ini, aku tak lagi ngaji. Sedih rasanya, tak ada kawan ngaji, hidup menjadi terlalu bebas. Namun mau bagaimana lagi, itulah jalan yang kupilih, meski Ma’e sebenarnya masih berat melepas kehijrahanku melanjutkan sekolah SMP di Kota Bojonegoro…
*Kembang Janggut, 30 Juni 2013
**Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Dipublikasikan otomatis secara terjadwal oleh WordPress pada hari Senin, 29 Juli 2013 pukul 08.00wita.
NB: Artikel ini adalah edisi series dari The Story of Muhammad Joe Sekigawa. Diterbitkan secara berkala pada setiap hari Senin dan Kamis, sejak tanggal 29 Juli 2013. Jika tak ada halang merintang, akan disusun menjadi sebuah buku bagi koleksi pribadi ^_^