Ma’e Life Story

Ma’e Life Story

Created By Muhammad Joe Sekigawa on September 15, 2011

Bismillah Arabic

Liburan menjelang Hari Raya Idul Fitri 1432 H kemarin saya sempatkan untuk mewawancai perihal kehidupan Ma’e dan Pa’e. Memang bukan suatu hal yang luar biasa, dan tentunya banyak orang beranggapan bahwa saya hanya melakukan hal yang sia-sia belaka. Namun tidak bagi seorang Pembelajar Sepanjang Zaman. Selama saya hidup di dunia ini, tak pernah saya ketahui mengenai bagaimana perjalanan hidup seorang Ma’e, sosok Ibu yang begitu luar biasa membagi kasih sayangnya untuk kami berlima. Tak ada yang berat sebelah, dan tak ada pula yang ringan sebelah. Adil yang diterapkan oleh beliau merupakan bentuk kasih sayang yang adil dalam makna yang sesungguhnya dan proporsional.

Karenanya, saya secara pribadi akan menuangkan mengenai cerita kehidupan Ma’e semenjak kecil hingga sekarang ini. Semoga ini dapat menjadi catatan pengingat bagi diri saya bahwa jasa seorang Ibu itu tak akan dapat terbalaskan dengan apapun juga, kecuali syurga dari-Nya.

My Beloved Pa'e and Ma'e 2011 == Mother and Me

Let’s begin the story,,,

Murami, itulah satu nama yang disandang Ma’e semenjak lahir hingga saat ini. Ma’e tidak pernah dapat mengingat rupa ayah dan ibu beliau. Terang saja, karena ternyata Ma’e ditinggal wafat oleh ayahnya pada usia 3.5 bulan. Kemudian ibunda Ma’e menyusul pada saat Ma’e berusia 2 tahun. Alhasil semenjak itu Ma’e diasuh oleh kakak kandung beliau bernama Munawar. Ma’e hidup tiga bersaudara, Ma’e sendiri, Pak Dhe Munawar (Dhe War), dan Pak Dhe Mustakim (Dhe Mus). Saat Ma’e menginjak usia kelas 1 SD, Dhe War menikah dan saat kelas 4 SD, Dhe Mus menikah.

Kehidupan Ma’e dan kakak-kakak beliau saat itu sungguh memang sangat memprihatinkan, sekolah pun jarang memakai seragam, tak pula bersepatu, membeli buku juga terkadang tidak mampu. Waktu itu, saat Ma’e kelas 4 SD, di Bancar mulai dibuka kelas Madrasah Ibtidaiyah (MI). Awalnya Ma’e mengikuti kelas di MI selepas sekolah di SD, namun lambat laun Ma’e lebih memberatkan diri untuk bersekolah di MI saja. Akhirnya Ma’e pun tidak meneruskan sekolah SD dan mulai menjadi siswa kelas 1 di MI. Namun malangnya, baru 2 tahun di MI, sekolah tersebut ditutup karena suatu hal. Ma’e pun kemudian tak pernah mendapatkan ijazah untuk sekolah di jalur pendidikan formal.

Pasca keluar dari sekolah MI, kegiatan sehari-hari Ma’e lebih sering membantu pemenuhan kebutuhan sehari-hari Dhe War dan isterinya, misalnya mencari air di sumur, mencari kayu untuk masak, dan lain-lain. Namun Ma’e juga masih mengaji di mushola setiap sore hingga waktu Isya. Dengan ketekunan beliau tersebut, pada akhirnya sudah pernah qatam Al Qur’an.

Persoalan menikah juga menjadi cerita yang unik pada kehidupan Ma’e. Beliau menikah pada tahun 1971. Saat itu, Ma’e sama sekali tidak mengenal siapa calon suaminya, pada saat akad nikah pun, Ma’e tak berani melihat ke wajah Pa’e. Ya, karena masih zaman dahulu, jadi pernikahan gadis desa itu menggunakan sistem perjodohan dan dalam usia yang relatif masih sangat dini. Bayangkan, Ma’e menikah saat berusia 15 tahun dan tanpa mengenal terlebih dahulu siapa calon suaminya. Di satu sisi, hal itu memang syar’i karena tanpa melalui proses “pacaran”, namun bukan berarti jika tidak “pacaran” juga tidak boleh “ta’aruf”, dan kejadian yang dialami Ma’e adalah tidak “pacaran” dan tidak juga “ta’aruf”.

Hal lain yang menarik untuk menjadi cerita adalah waktu itu Mahar yang diminta Ma’e hanya sebesar Rp 100,-. Betul, hanya seratus rupiah saja dan kata beliau jumlah tersebut untuk membeli baju juga tidak cukup. Pada saat selesai akad nikah juga demikian, saat itu Ma’e disuruh oleh Mbah Marni (Ibu mertua) untuk membuatkan minum bagi Pa’e, namun Ma’e malah tidak tahu mana yang namanya Ahmad Nawawi sekaligus suami barunya tersebut. Memang aneh ya Ma’e ini hohohoho =D

Setelah menikah, Ma’e diboyong oleh Pa’e dari rumah Bancar Geneng menuju Bogorejo. Saat awal-awal pernikahan, Ma’e dan Pa’e masih hidup bersama dengan Mbah Marni dan Mbah Yasin. Mulai dari sana Ma’e belajar untuk masak, mengurus rumah dan mengurus suami. Baru pada saat hamil pertama dan usia kehamilan sudah mencapai 7 bulan lah, Ma’e dan Pa’e mulai hidup secara mandiri dalam rumah sendiri.

Kelahiran anak perdana (Mas Wahib) dapat mengisi kebahagiaan tersendiri, meski waktu itu usia Ma’e barulah menginjak 17 tahun. Meskipun perjalanan juga tidak mulus karena Mas Wahib waktu usia belum sampai setahun sudah sakit-sakitan. Namun, naluri perjalanan menjadi seorang Ibu sudah mulai melekat.

Mengorek informasi mengenai rasa “cinta” antara sepasang suami isteri yang sama-sama tidak kenal sebelumnya, Ma’e sedikit bercerita bahwa rasa itu mulai tumbuh saat kehamilan anak perdana (Mas Wahib). Ada rasa khawatir saat Pa’e waktu itu tidak pulang-pulang dan rasa-rasanya Ma’e begitu kangen ingin segera bertemu dengan Pa’e.

Hal yang menjadi harapan atau yang diimpikan oleh Ma’e adalah nantinya baik beliau maupun anak-anaknya tidak ada yang kekurangan, sehat, dan sejahtera. Jika masih diberikan kesempatan, Ma’e juga masih ingin membuat kamar yang khusus sebagai tempat tidur anak-anaknya ketika mudik pada Hari Raya Idul Fitri. Ingin menata rumah supaya lebih bagus dan nyaman ditempati, serta bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan nyaman. Saat usia tua dan tidak mampu mengerjakan suatu apapun, Ma’e ingin ikut bersama salah satu anaknya. Dan tentu saja, saya siap Mak jika Ma’e nanti memutuskan untuk tinggal bersama Joko Setiawan, anak paling terakhir yang lahir dari Ibu semulia beliau ^_^

Salam hangat dan salam semangat selalu untuk Ma’e, My Great Mother ^^

Comments
2 Responses to “Ma’e Life Story”
  1. emmachan24 says:

    salut sama ma’e,,
    jadi terharu yah minta maharnya cuma Rp 100 :’)

Tinggalkan Jejak ^_^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: