Pergeseran Pendekatan dan Paradigma dalam Penanggulangan Bencana
Oleh Joko Setiawan, S.ST *)
Kita ketahui bersama bahwa bencana adalah sesuatu yang tidak dapat terduga kejadiannya. Tanda-tandanya memang dapat kita kenali, namun kedatangannya seringkali tidak dapat kita tolak adanya. Tidak jarang kita mendengar istilah kata bencana, namun tahukah Anda apa itu bencana?
Berdasarkan definisi yang terdapat di dalam Undang-undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bencana adalah “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat”. Penyebab bencana tersebut antara lain oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan juga dampak psikologis.
Bencana telah ada sejak pada masa Nabi Nuh ‘alaihi salam, kita ketahui kisahnya tentang banjir besar yang menimpa kaumnya. Kemudian kita juga ingat mengenai kaum Nabi Shaleh ‘alaihi salam yang mati bergelimpangan akibat gempa bumi. Hal ini, selain menunjukkan fenomena kebesaran Ilahi Rabbi, juga dapat kita sadari bahwa fenomena alam itu telah terjadi sejak sangat lama semenjak bumi ini dihuni oleh manusia.
Kemudian, dalam konteks Negara Indonesia. Kejadian bencana alam yang paling fenomenal sehingga mampu membangunkan kita semua (pemerintah dan juga masyarakat pegiat kemanusiaan) adalah pada peristiwa gempa bumi dan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 silam. Apalagi pasca kejadian bencana tersebut, Indonesia memang menjadi sangat sering ditimpa bencana, mulai dari banjir, gempa bumi, angin puyuh, gunung meletus, hingga kebakaran.
Di satu sisi, sebagai hamba Allah, kita memang patut instrospeksi diri, namun tak hanya cukup berhenti di situ saja. Langkah-langkah arif dan bijaksana dan cerdas juga harus kita ambil untuk menghadapi bencana yang ada.
Satu hal yang menarik adalah ketika telah terjadi pergeseran pendekatan dan paradigma mengenai penanggulangan bencana. Pendekatan ini mulai dari penggunan ilmu alam, kemudian meningkat ke ilmu terapan, dilanjutkan dengan ilmu sosial, lalu disadari bersama bahwa pendekatan yang dilakukan haruslah menggunakan pendekatan yang holistik, menyeluruh tanpa ada penyekatan ilmu pengetahuan.
Sedangkan untuk pergeseran paradigma, terdapat empat hal fundamental yang berubah atas paradigma awal dalam penanggulangan bencana. Diantaranya:
Pertama, dari tanggap darurat menjadi kesiapsiagaan. Tanggap darurat sampai hari ini memang penting dilakukan dan memang dibutuhkan oleh masyarakat terdampak bencana. Namun, tidak cukup hanya berhenti di sini semata. Ada bencana, ada proses pertolongan, kemudian selesai.
Namun yang lebih penting adalah bagaimana menyiapkan masyarakat untuk lebih cerdas dalam menghadapi bencana, mengurangi dampak risiko yang akan dihadapinya, serta mengelola pengetahuan menjadi kesadaran kolektif di dalam masyarakat sehingga tahan/tangguh dalam menghadapi bencana yang menimpa.
Kedua, dari sentralistik menjadi otonomi daerah. Pemerintah menyadari bahwa kejadian bencana haruslah direspon secara cepat dan tepat. Melihat penanganan selama ini yang semuanya diurus oleh pemerintah pusat, maka banyak terjadi keterlambatan dalam memberikan pertolongan dan bantuan. Di sinilah muncul paradigma baru, yakni penanganan bencana bisa dilaksanakan melalui pemerintah daerah yang bersifat otomoni.
Ketiga, dari pemerintah sentris menjadi partisipatori. Kemampuan pemerintah tidaklah cukup besar untuk menggelontorkan anggarannya guna membantu begitu banyak korban bencana yang terjadi hampir secara bersamaan dan berkesinambungan. Oleh karenanya, peran serta masyarakat lokal, nasional maupun internasional dibutuhkan guna membantu memulihkan korban bencana tersebut. Inilah yang disebut dengan pergeseran paradigma dari pemerintah sentris menjadi partisipatori.
Keempat, dari kemurahan menjadi hak dasar. Awalnya, pemerintah menyangka bahwa membantu korban bencana adalah sebuah kemurahan hati semata. Padahal ini adalah anggapan salah, sedangkan yang benar adalah bahwa membantu korban bencana itu memang karena hal itu merupakan hak dasar dari setiap warga negara Indonesia. Maka, tak salah jika disebutkan bahwa perlindungan adalah merupakan bagian dari hak dasar, dan pengurangan risiko adalah bagian dari pembangunan.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) sebagai Lembaga Kemanusiaan Nasional yang memiliki Divisi Rescue, kemudian berbenah dengan nama divisi baru yaitu Disaster Risk Management (DRM).
Selain paradigma yang juga turut berubah, DRM pkpu juga senantiasa melahirkan program-program unggulan terkait pengurangan risiko bencana seperti CBDRM (Community Based Disaster Risk Management) yang didalamnya terdapat project Kampung Tangguh, Sekolah Siaga Bencana, dan beberapa program unggulan lainnya.
*) Joko Setiawan, S.ST, staf Divisi Disaster Risk Management (DRM) PKPU | a social worker dan concern terhadap isu-isu pengurangan risiko bencana tingkat sekolah, perguruan tinggi dan komunitas | @joesekigawa
NB: Pertama kali dipublikasikan di website resmi PKPU pada hari Rabu, 20 Februari 2013 pukul 18.03wib di sini http://www.pkpu.or.id/article/pergeseran-pendekatan-dan-paradigma-dalam-penanggulangan-bencana