Bermetamorfosa dari Mahasiswa menjadi Sarjana

Begitu singkat terasa. Empat tahun layaknya beberapa waktu saja. Masih lekat dalam ingatan mengenai masa-masa gundul menjadi mahasiswa anyar di kampus biru, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung ini. Sebuah perjalanan yang sama sekali tidak pernah terpikirkan, semua mengalir begitu saja tanpa aku bisa merencanakan dengan seksama.

Cukup aneh memang. Ketika di zaman sekolah SMP dan SMK dulu di Bojonegoro aku tidaklah seperti yang sekarang, gemar merencanakan atas perihal ikhwal kegiatan yang akan aku lakukan. Cukup merugi bahkan. Dan aku telah belajar dari pengalaman di masa silam, karenanya setiap bertemu dengan pemuda (baca: anak SMA sederajat), maka yang aku tanamkan pada mereka adalah “Buatlah rencana masa depan, karena merencanakan tindakan adalah 50% keberhasilan”.

Salah satu dari tujuh keponakanku saat ini tengah duduk di kelas X SMK Pelayaran. Semangatnya begitu luar biasa, begitu bangganya dengan sekolah dan mata pelajaran yang diajarkan kepadanya. Tidak salah, dan malah perasaan senang yang aku rasakan di dalam dada. Ingatan kembali berlari ke masa SMK-ku dahulu, jauh sekali dengan semangatnya saat ini. Ia bernama Wisnu, tapi kalangan keluarga memanggilnya Inu. Jika di masa SMA saja semangatnya sudah begitu luar biasa, aku yakin dirinya suatu saat nanti akan mampu mengalahkan pencapaian-pencapaian gemilang dari Lek-nya ini. (Catt: Lek adalah dialek bahasa Jawa, sebutan untuk Om).

Empat tahun berlalu sudah. Rampunglah semua mata kuliah yang diwajibkan untuk dipelajari di kampus ini. Kalau tahun-tahun kemarin aku masih suka menyebut diri sebagai A Candidate of Professional Social Worker. Maka, sejak tanggal 17 September 2012 lalu dimana aku menjalani Ujian Akhir Program Studi (Ujian Sidang Karya Ilmiah Akhir/KIA), maka resmilah diriku menyandang gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST).

Ah, Sarjana. Apa bedanya dengan mahasiswa? Apa engkau bisa mengindentifikasinya? Tidak tahu salah siapa, yang jelas aku tidak begitu merasakan perbedaan yang signifikan. Tentu, secara keilmuan memang ada yang beda di sana. Apakah itu pengalaman, apakah itu banyaknya ilmu pengetahuan yang kita kuasai, ataukah itu pengalaman organisasi yang melimpah, serta jejaring eksternal yang semakin menguat. Tapi, lagi-lagi hanya masalah perasaan hati. Dan aku tak mau menutupinya, meski mungkin saja kau bersikeras untuk menolak pendapat ini. Bukanlah ini lapak pribadi, dan tentu saja aku berhak mengemukakan pendapatku sendiri, tentu saja tanpa memojokkan salah satu pihak tertentu.

Lalu apakah bedanya seorang Social Work Student dengan Social Worker? Menurutku hal mendasarnya adalah pada TANGGUNG JAWAB. Mahasiswa karena dengan statusnya yang masih belajar, ia dimaklumi ketika melakukan kesalahan. Namun, sebagai seorang Social Worker yang profesional, kesalahan asesmen dan intervensi mengakibatkan dampak yang serius, tidak hanya bagi diri pribadi, namun juga institusi, bahkan hingga ke profesi.

Profesi Pekerja Sosial bukanlah profesi yang baru (STKS Bandung saja berdiri tahun 1957), namun ke-mengerti-an masyarakat akan kesejatian profesi ini masih amatlah rendah. Maka, kita sebagai alumni mahasiswa Pekerjaan Sosial yang notabene setelah meraih gelar Sarjana bermetamorfosa menjadi Pekerja Sosial, keprofesionalan dalam bekerja menjadi tuntutan utama. Bisa jadi selama ini profesi Pekerja Sosial tidak begitu dikenal masyarakat karena peranannya yang tidak begitu berarti untuk masyarakat? Secara pribadi aku menolak pendapat ini, karena pada kenyataannya peranan Pekerja Sosial begitu berarti dalam meningkatkan keberfungsian sosial seseorang ke titik standarnya. Lalu mengapa demikian, kapan profesi ini bisa familiar di mata masyarakat Indonesia?

Kuncinya terletak pada strategi yang integratif dan komprehensif. Pertama, berangkat dari bibit yang unggul (calon mahasiswa Pekerjaan Sosial), ditempa oleh dosen yang expert di bidangnya, diiringi fasilitas praktik sesuai konteks daerah/wilayah, serta dihasilkan lulusan yang berkompeten dan layak disebut sebagai seorang Pekerja Sosial. Empat hal ini tertumpu pada tanggung jawab institusi pendidik, dalam hal ini kampus. Kedua, image branding akan peranan nyata pekerja sosial untuk marginalized people di Indonesia. Berpikir bahwa sesuatu yang baik itu biarkan saja apa adanya, dan menunggu kekaguman orang datang dengan sendirinya, adalah sebuah pemikiran konservatif. Marketing kebaikan itu efeknya lebih dahsyat kawan!. Dan yang terakhir, Ketiga, Praktik profesional yang mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan pelik di dalam masyarakat. Hal ini tidak hanya dibutuhkan profesionalisme semata, namun juga kerja ikhlas, sabar dan tidak tergesa-tega untuk membuat perubahan. Bukankah prose situ lebih penting daripada hasil, meskipun pada kenyataannya memang sebuah proses yang berjalan dengan baik maka nantinya juga akan menghasilkan sebuah hasil yang baik pula.

Kembali lagi mengaca pada diri pribadi. Sekarang aku sudah bukan mahasiswa, aku telah dinyatakan pantas menyandang gelar Sarjana, dan tanggal 10 Oktober 2012 nanti akan diwisuda. Masihkah nanti aku akan menjadi manja? “Maaf Pak, saya belum bisa, saya kan fresh graduate”, atau “Saya tidak berani mengambil keputusan secara cepat, karena tingkat kematangan keilmuan saya di lapangan masih rendah”, atau “Jangan sekarang lah Pak, saya tidak pantas menyandang amanah itu, biarkan yang lebih senior maju duluan, meski beliau bukanlah seorang Pekerja Sosial”. Berbagai macam alasan yang “sepertinya” rasional dengan lugasnya kita ungkapkan. Itu semua hanyalah alibi kawan. Ketika engkau sudah “berani” untuk diwisuda, maka semenjak itu juga nilai profesionalisme dalam bekerja harus menancap erat dalam diri kita. Bersiap menjadi seorang Pekerja Sosial yang profesional dan solutif dalam menghadapi persoalan nyata di lapangan.

Mari kita bersama-sama bersemangat. Tidak perlu rendah diri, empat tahun meski rasanya singkat, namun ternyata telah banyak ilmu pengetahuan dan keterampilan yang telah kita dapatkan dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial ini, dan masyarakat membutuhkan praktik profesional kita untuk membantu memecahkan masalah pelik yang saat ini kita ketahui marak dan luas di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Siap berkontribusi untuk Negeri ini Kawan? Sebelumnya ketika masih berstatus undergraduate social work student, kontribusi kita adalah di dalam sebuah organisasi, maka saat sekarang ketika gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST) sudah resmi kita sandang, maka kontribusi selanjutnya adalah untuk Negara Indonesia. Sepakat? ^_^

Salam hangat dan semangat selalu by Muhammad Joe Sekigawa, seorang Pembelajar Sepanjang Zaman who has a great dreams

A Social Worker fresh graduated from Bandung College of Social Welfare (BCSW), Department of Social Rehabilitation 2008

Koordinator Umum BSO Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) STKS Bandung

Staf Ahli DF Forum Komunikasi Mahasiswa Kesejahteraan Sosial Indonesia (FORKOMKASI) Bidang Relasi Publik

Selesai ditulis pada hari Jum’at pagi, 05 Oktober 2012 at 10.13wib @Foodcourt Peradaban (Foodcourt STKS Bandung), Dago 367 kota Bandung, Jawa Barat

 

 

 

Comments
2 Responses to “Bermetamorfosa dari Mahasiswa menjadi Sarjana”
  1. eci says:

    wow… its a great!!!!!!!
    merinding bgt sm stantement bedanya social worker dgn lulusan social work~
    bhkan bnyak hal tak prnah kita maknai sedetil itu, -,-“)
    mas joe~ slmt berpetualang dgn gelar S.ST nya*

Tinggalkan Jejak ^_^

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: