Psikologi Sosial Islami: Pemaafan dan Kelapangdadaan
Bismillahirrohmaanirrohiim,,
Beberapa waktu yang lalu pribadi saya mengalami “goncangan” yang begitu dahsyat, namun alhamdulillah saya pada akhirnya dapat melewatinya dan mengambil hikmah berharga dari itu semua. Dalam pencarian ketenangan karena “goncangan” tersebut, saya menemukan 2 buah buku yang menarik di perpustakaan kampus STKS Bandung, yaitu Psikologi Sosial Islami dan juga Psikologi Suami Isteri. Dalam kesempatan kali ini saya akan membagi ilmu yang terkandung di dalam Psikologi Sosial Islami karangan H. Fuad Nashori, M.Si., Psi yang terbit pada awal tahun 2008 silam. Buku Psikologi Suami Isteri karangan Dr. Thariq Kamal An-Nu’aimi pun cukup menarik bagi saya, namun hingga saat ini saya belum selesai membacanya, baru sampai pada halaman 300 dari 600 halaman lebih. Oleh karena itu buku tersebut akan saya share ilmunya pada kesempatan lain di masa yang akan datang (^_^)
PSIKOLOGI SOSIAL ISLAMI
Psikologi Sosial Islami adalah kajian ilmiah yang berusaha memahami keadaan dan sebab-sebab terjadinya perilaku individu dalam situasi sosial dengan menggunakan pandangan dunia Islam (Nashori, 2008). Perbedaan Psikologi Sosial Islami dengan Psikologi Sosial kontemporer adalah bahwa dasar penyusunan dari Psikologi Sosial Islami adalah kitab suci (Al Qur’an, Al Hadist, serta penafsiran atasnya), pemikiran spekulatif dan hasil penelitian empiris. Kitab suci sengaja diletakkan sebagai sumber utama kebenaran. Pemikiran spekulatif dipergunakan karena ketika suatu pengetahuan dan gagasan itu ada di dalam pemikiran, maka ia bersifat relatif kebenarannya. Tingkat kebenarannya akan meningkat bila ia didukung oleh penelitian empiris. Dan hasil dari penelitian empiris didasarkan pada realitas yang diperoleh dengan berbagai metode ilmiah.
PEMAAFAN
“Balasan terhadap kejahatan adalah pembalasan yang setimpal, tetapi barang siapa yang memafkan dan berbuat baik, ganjarannya ditanggung oleh Allah Subhanahu Wata’ala” (S.S Asy Syu’ara [42]: 40)
Baron and Byrne (2004) menyebutkan ada 4 (empat) kemungkinan pilihan reaksi yang ditampilkan oleh seseorang ketika sedang menghadapi konflik dengan orang di sekitarnya, yaitu: 1)sikap aktif menyelesaikan konflik; 2)loyalty atau sikap menunggu dengan harapan konflik dapat terselesaikan dengan sendirinya; 3)exit atau melarikan diri dari penyelesaian konflik; dan 4)neglect atau berharap masalah menjadi semakin buruk. Membalas keburukan dengan keburukan alias balas dendam merupakan contoh sikap neglect.
Dari keempat sikap tersebut, yang paling tepat dilakukan adalah aktif menyelesaikan konflik, ini ditandai dengan adanya kesediaan untuk memberikan maaf dan adanya silaturahmi yang berlanjut. Dalam ajaran agama Islam pun telah diterangkan mengenai perintah Allah untuk memberikan maaf kepada orang lain, “Apabila kamu memaafkan, dan melapangkan dada serta melindungi, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S At-Taghabun [64]: 14).
Pada kenyataanya, seperti yang telah digambarkan oleh Dollar and Miller (Baron&Byrne, 2004; Sears dkk., 1991) bahwa bila seseorang disakiti oleh orang lain, mereka memendam amarah dalam dirinya. Bila ada peletup, maka amarah yang terpendam tersebut akan nampak pada perilaku agresif, yaitu perilaku yang didasari oleh maksud menyakiti orang lain, terutama untuk membalas orang yang menyakitinya tersebut.
Pemaafan berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka dalam hati (Shihab, 2001). Dalam pemaafan terdapat kesiapan memberikan ampunan/maaf bagi orang lain, baik diminta ataupun tidak diminta. Keterbukaan diri untuk memberi maaf kepada orang lain adalah tanda utama yang dapat segera ditangkap orang lain.
Proses Pemaafan
Empat fase dalam proses pemberian maaf menurut Enright (Martin, 2003) antara lain: 1)fase pengungkapan (uncovering phase), yaitu ketika seseorang merasa sakit hati dan dendam; 2)fase keputusan (decision phase), yaitu orang tersebut mulai berpikir rasional dan memikirkan kemungkinan untuk memaafkan, namun pada fase ini orang belum dapat memberikan maaf sepenuhnya; 3)fase tindakan (work phase), yaitu adanya tingkatan pemikiran baru untuk secara aktif memberikan maaf kepada orang yang telah melukai hati; dan yang terakhir 4)fase pendalaman (outcome/deepening phase), yaitu internalisasi kebermaknaan dari proses memafkan. Di sini orang sudah memahami bahwa dengan memaafkan, ia akan memberi manfaat bagi dirinya sendiri, juga lingkungan, dan semua orang yang berada di sekitarnya. Penulis (Nashori, 2008) menambahkan adanya satu fase lagi yaitu individu memberikan manfaat bagi orang lain seperti mendoakan orang lain.
Manfaat Pemaafan
Menurut Luskin (Martin, 2003) ada tiga hal yang menjadikan kehidupan orang yang suka memberi maaf menjadi lebih sehat. Diantaranya adalah 1)orang yang memberi maaf tidak mudah tersinggung saat diperlakukan tidak menyenangkan oleh orang lain; 2)mereka tidak mudah menyalahkan orang lain ketika hubungannya dengan orang tersebut tidak berjalan seperti yang diharapkan; dan 3)mereka memiliki penjelasan nalar terhadap sikap orang lain yang telah menyakiti mereka.
Upaya Peningkatan Pemaafan
Adapun beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perilaku suka memaafkan antara lain:
- Melatih diri untuk memaafkan
- Menyadari bahwa memaafkan adalah bagian penting dari upaya untuk meraih taqwa
- Memanfaatkan atau menciptakan momen pemaafan
- Meningkatkan pemahaman terhadap ajaran agama Islam
Beberapa surat yang telah dinukil di atas akan menambah khasanah ketenteraman hati kita untuk senantiasa dapat memafkan kesalahan orang lain. Di akhir tulisan, akan dinukil lagi satu ayat tentang pemaafan, “Maafkanlah mereka dan lapangkanlah dada. Sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (terhadap orang yang melakukan kesalahan kepadanya) (Q.S Al Maa’idah [5]: 13)
KELAPANGDADAAN
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Q.S Al Baqarah [2]: 286)
Kelapangdadaan adalah suatu kondisi psiko-spiritual yang ditandai oleh kemampuan menerima berbagai kenyataan yang tidak menyenangkan dengan tenang dan terkendali (Nashori, 2004). Orang yang lapang dada memiliki kekuatan dalam jiwanya untuk bertahan dan tidak berputus asa manakala menghadapi berbagai situasi yang secara objektif tidak menyenangkan secara psikis dan menyakitkan secara fisik. Semakin tinggi kelapangdadaan seseorang semakin mampu ia menerima realitas yang beragam, termasuk yang tidak menyenangkan (Nashori, 2002).
Ciri-ciri Kelapangdaaan
Setidaknya ada enam ciri dari pribadi yang lapang dada (Nashori, 2004), yaitu:
- Kesadaran spiritual (spiritual awareness), yaitu kesadaran bahwa keadaan yang tidak menyenangkan merupakan ujian dari Allah Azza wa Jalla. Orang yang lapang dada adalah seseorang yang kokoh menghadapi berbagai kenyataan hidup dan memandang kenyataan hidup sebagai ujian. Kekokohan itu dapat dicapai bila seseorang dilatih atau diuji secara terus menerus oleh Allah. Dan ingatlah firman-Nya, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Q.S Al Ankabut [29]: 2)
- Kesiapan psikologis (psychological preparatory), yaitu kesiapan untuk menerima stimulasi yang tidak menyenangkan
- Keyakinan akan kesanggupan diri menanggung beban, yaitu keyakinan bahwa kesulitan yang ditanggung tak akan melebihi kesanggupan dirinya untuk menerima beban itu. Karena itu mari kita mengingat firman-Nya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Q.S Al Baqarah [2]: 286)
- Pertaubatan, yaitu melakukan pertaubatan atas dosanya kepada Allah. Kadang kesulitan yang sesungguhnya merupakan ujian itu, akibat dari kesalahan manusia. Bila seseorang sadar bahwa hal itu adalah kesalahannya, maka ia akan meminta ampunan dari Allah
- Pencarian hikmah (seeking meaning), yaitu keyakinan akan adanya hikmah atau pelajaran di balik peristiwa. Orang yang sehat secara ruhani akan dapat mengambil pelajaran bahwa di balik kesulitan ada pelajaran atau hikmah yang dapat diambil
- Berpikir positif tentang masa depan (positive thingking), yaitu keyakinan akan adanya perbaikan keadaan setelah berlangsungnya keadaan yang tidak menyenangkan. Allah berfirman, “Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan” (Q.S Al Insyirah [94]: 5-6)
Faktor yang Mempengaruhi Kelapangdadaan
Berikut ini akan dijelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi dan rendahnya kelapangdadaan seseorang, antara lain:
- Keimanan. Seseorang yang memiliki iman yang kokoh di dalam hatinya percaya akan adanya takdir (ketentuan), ketentuan baik dan ketentuan buruk. Seseorang yang selalu beribadah adalah seseorang yang cenderung mengukuhkan iman terhadap takdir Allah Azza wa Jalla
- Dzikir. Menurut Subandi (1997), dzikir sendiri menghasilkan adanya perasaan lapang atau perasaan los (terbebas dari beban yang menghimpit)
- Tingkat penderitaan yang dialami. Berat ringannya penderitaan yang dialami ikut serta mempengaruhi kelapangdadaan. Penderitaan yang luar biasa berat cenderung diterima dengan lapang dada daripada penderitaan yang agak kurang berat
- Sumber penderitaan. Jika sumber penderitaan itu bersumber dari manusia, cenderung sulit untuk berlapang dada. Namun jika sumber penderitaan itu berasal dari Allah, maka mereka cenderung berlapang dada
- Usia. Usia yang sudah tua cenderung dapat menerima lapang dada secara aktif, lain halnya dengan para orang-orang yang masih muda, mereka cenderung tidak mudah untuk berlapang dada
- Lingkungan. Seseorang yang berada dalam lingkungan yang terlatih untuk berhadapan dengan suasana yang tidak menyenangkan lebih besar kelapangdadaannya dibanding mereka yang berada dalam lingkungan yang tidak terlatih untuk menerima beragam situasi
- Pengalaman penderitaan sebelumnya. Berbagai macam pengalaman penderitaan semisal kehilangan orang-orang penting dalam kehidupannya akan menjadikan seseorang lebih kokoh ketika menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan
Demikianlah ulasan yang dapat saya bagi di sini mengenai Psikologi Sosial Islami, Pemaafan, dan juga Kelapangdaaan. Semoga dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan bagi diri saya sendiri secara pribadi.
Salam semangat selalu by Joko Setiawan, Mahasiswa Jurusan Rehabilitasi Sosial Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung angkatan tahun 2008
Selesai ditulis pada Sabtu pagi, 09 April 2011 at 06.37wib @Neru Net, Dago-Bandung, Jawa Barat
bisa cantumin daftar referensinya? 😀
Sudah saya sebutkan di awal kok, ini sumber bukunya:
Psikologi Sosial Islami karangan H. Fuad Nashori, M.Si., Psi yang terbit pada awal tahun 2008
that’s all real,,,,,,
Yups,, You are right 😉
Syukron sudah kasih komentar di sini ya Lia ^_^
wow.. mantap nih postingannya..
btw, apa kabar.. lama tak jumpa di blog
He he he,, Makasih 🙂
Alhamdulillah baik, meski sempat mengalami hal buruk
Afwan, karena memang saya jarang blogwalking nich Mbak,,, Mbak Dhila bagaimana kabarnya?
wew.. Like this lah… 😀
Menjadi pemaaf mengasah keiklasan… 🙂
Yups,,, betul itu 🙂
waaahh mesti khusu’ ni bacanya, soalnya dalem banget maknanya..
maaf, yang kata orang mudah dilakukan, tapi sebenarnya sangat sulit..
He he he he,, Ga juga kok Mbak Dhe,,,
Saya membacanya dengan cukup santai dan Alhamdulillah semuanya dapat meresap hingga ke qalbu dan menjadi amal perbuatan yang baik 🙂
Salam dari Bandung
bagus beud..
Jazakallahu ya Akh Arief 😉